Sejarah Romawi Kuno

Sejarah Romawi Kuno

Octavianus dan Triumviratus II

Terbunuhnya Gaius Iulius Caesar menimbulkan kekacauan politik dan sosial di Roma. Tanpa kepemimpinannya selaku diktator, pemerintahan Roma dijalankan oleh sahabat sekaligus rekan kerjanya, Marcus Antonius. Tak lama kemudian, Octavius, anak angkat Gaius Iulius Caesar berdasarkan surat wasiatnya, tiba di Roma. Octavianus (para sejarawan menyamakan Octavius dengan Octavianus berdasarkan tata nama orang Romawi) berusaha merapat pada kubu pro mendiang Caesar. Pada tahun 43 SM, bersama Marcus Antonius dan Marcus Aemilius Lepidus, sahabat karib mendiang,[52] ia membentuk persekutuan Triumviratus II melalui undang-undang. Persekutuan ini direncanakan berlaku sampai lima tahun. Saat Triumviratus II terbentuk, 130–300 orang senator dieksekusi mati, dan harta kekayaan mereka disita, karena diputus bersalah telah mendukung komplotan Liberator.[53]

Pada tahun 42 SM, senatus memasyhurkan kedewataan Gaius Iulius Caesar dengan gelar Divus Iulius (Dewata Iulius), sehingga Octavianus selaku ahli warisnya pun disebut Divi Filius (Putra Dewata).[54] Pada tahun yang sama Octavianus dan Marcus Antonius berhasil mengalahkan para pembunuh Gaius Iulius Caesar sekaligus pemimpin komplotan Liberator, yakni Marcus Iunius Brutus dan Gaius Cassius Longinus, dalam Pertempuran Filipi. Triumviratus II terkenal dengan proscriptio, maklumat pelaknatan sebagai musuh negara, yang diterbitkannya bagi banyak senator dan tokoh-tokoh kaum eques. Selepas pemberontakan adik Marcus Antonius, Lucius Antonius, lebih dari 300 orang senator dan tokoh kaum eques yang terlibat dieksekusi mati pada hari Idus Martiae, kendati Lucius Antonius sendiri tidak dieksekusi mati.[55] Triumviratus II mengeluarkan maklumat pelaknatan terhadap sejumlah tokoh penting, termasuk Marcus Tullius Cicero, orang yang dibenci Marcus Antonius;[56] Quintus Tullius Cicero, adik Marcus Tullius Cicero; dan Lucius Iulius Caesar, saudara sepupu sekaligus sahabat Gaius Iulius Caesar yang mendukungMarcus Tullius Cicero. Kendati demikian, Lucius Iulius Caesar akhirnya diberi pengampunan, mungkin atas permintaan kakaknya yang bernama Iulia, ibu dari Marcus Antonius.[57]

Triumviratus II membagi-bagi wilayah kekuasaan Republik Romawi menjadi daerah-daerah kekuasaan ketiga anggotanya. Marcus Aemilius Lepidus mendapatkan Provinsi Afrika, Marcus Antonius mendapatkan provinsi-provinsi di sebelah timur, sementara Octavianus tetap tinggal di Italia serta memerintah atas Hispania dan Galia. Masa ikatan persekutuan Triumvirat II berakhir pada tahun 38 BC tetapi diperbaharui untuk lima tahun lagi. Kendati demikian, sudah hubungan baik antara Octavianus dan Marcus Antonius sudah retak, dan Marcus Aemilius Lepidus dipaksa mengundurkan diri pada tahun 36 SM setelah mengkhianati Octavianus di Sisilia. Pada akhir masa ikatan persekutuan, Marcus Antonius tinggal di Mesir, yang kala itu merupakan sebuah kerajaan merdeka lagi makmur di bawah pemerintahan kekasih Marcus Antonius, Ratu Kleopatra VII. Hubungan asmara Marcus Antonius dan Ratu Kleopatra dipandang sebagai pengkhianatan terhadap negara, karena Kelopatra adalah kepala negara asing. Selain itu, Marcus Antonius dinilai kelewat berfoya-foya dan terlampau keyunani-yunanian bagi seorang pejabat negara Republik Romawi.[58] Setelah peristiwa Penghibahan di Aleksandria, yang membuat Ratu Kleopatra mendapatkan gelar "Ratu Segala Raja", dan anak-anak Marcus Antonius dari Kleopatra mendapatkan gelar penguasa atas daerah-daerah di sebelah timur yang baru saja ditaklukkan, pecah perang antara Octavianus dan Marcus Antonius. Octavianus menghancurkan kekuatan tempur Mesir dalam Pertempuran Aktion pada tahun 31 SM. Marcus Antonius dan Kleopatra mati bunuh diri. Mesir ditundukkan di bawah kedaulatan Romawi, dan suatu zaman baru pun bermula bagi bangsa Romawi.

Penggolongan masyarakat

Masyarakat Romawi Kuno bersifat hierarkis. Budak-budak belian (bahasa Latin: servi) berada pada jenjang terbawah, orang-orang yang dimerdekakan (bahasa Latin: liberti) berada pada jenjang menengah, sementara warga negara yang terlahir merdeka (bahasa Latin: cives) menempati jenjang teratas. Warga negara yang terlahir merdeka pun masih terbagi lagi menjadi beberapa golongan. Penggolongan yang paling luas dan paling tua adalah penggolongan menjadi kaum patricius, yakni golongan orang-orang yang termasuk nasab 100 orang pitarah, sesepuh masyarakat perdana kota Roma, dan kaum plebs, yakni golongan orang-orang yang tidak termasuk nasab mereka. Penggolongan semacam ini dianggap tidak terlalu penting lagi pada penghujung zaman republik, karena sejumlah keluarga kaum plebs sudah menjadi kaya raya dan berkiprah di gelanggang polik, sementara sejumlah keluarga patricius mengalami keterpurukan ekonomi. Siapa saja, patricius maupun plebs, yang dapat membuktikan bahwa salah seorang leluhurnya pernah menduduki jabatan consul, adalah orang mulia (bahasa Latin: nobilis). Orang pertama dari sebuah keluarga yang berhasil menduduki jabatan consul, semisal Gaius Marius dan Cicero, disebut novus homo (orang baru), orang yang memuliakan keturunannya. Kendati demikian, status keturunan patricius masih tetap dihargai orang, dan masih banyak jabatan keagamaan yang hanya boleh diemban oleh kaum patricius.

Penggolongan yang lambat laun dianggap lebih penting adalah penggolongan menurut kelayakan ikut serta bela negara. Golongan seseorang ditetapkan secara berkala oleh censor, berdasarkan jumlah harta kekayaannya. Golongan terkaya adalah golongan senatus (sesepuh), yang menguasai gelanggang politik dan mengendalikan angkatan bersenjata. Setingkat di bawahnya adalah golongan eques (kesatria), yang mula-mula adalah golongan orang-orang yang mampu memiliki seekor kuda perang. Golongan eques merupakan golongan saudagar yang berkuasa. Di bawah eques masih ada beberapa golongan lagi menurut jenis perlengkapan perang yang mampu dimiliki anggotanya, dan jenjang terbawah ditempati oleh proletarius (penghasil keturunan), yakni warga negara tanpa properti yang hanya mampu menyumbangkan warga baru bagi negara. Sebelum tatanan militer Romawi dirombak oleh Gaius Marius, golongan proletarius dinilai tidak layak diikutsertakan dalam kegiatan bela negara, dan sering kali digambarkan sebagai kaum yang hanya lebih berharta dan lebih terpandang daripada mantan budak belian.

Hak suara seseorang pada zaman republik tergantung pada golongannya. Rakyat dibagi menjadi tribus (suku-suku) pemberi suara, tetapi suku-suku golongan kaya lebih sedikit anggotanya daripada suku-suku golongan miskin, dan seluruh proletarius dikelompokkan menjadi satu suku saja. Pemungutan suara diselenggarakan secara berjenjang, mulai dari golongan teratas sampai golongan terbawah, dan ditutup segera sesudah sebagian besar suku sudah memberi suara, sehingga golongan-golongan miskin acap kali tidak berkesempatan menggunakan hak suara mereka.

Kaum perempuan memiliki sejumlah hak asasi yang sama dengan kaum lelaki, tetapi tidak dianggap sebagai warga negara yang benar-benar setara dengan kaum lelaki, sehingga tidak diizinkan ikut serta dalam pemungutan suara maupun berkiprah di gelanggang politik. Kendati demikian pembatasan terhadap kaum perempuan sedikit demi sedikit diperlonggar (karena adanya emansipasi), sehingga kaum perempuan akhirnya bebas dari kewajiban untuk tunduk pada pater familias, mendapat hak untuk memiliki tanah dan bangunan, bahkan mendapatkan lebih banyak hak yuridis dibanding suami-suami mereka, tetapi tetap saja tidak berhak ikut serta dalam pemungutan suara, dan tidak dibenarkan berkecimpung dalam dunia politik.[168]

Kota-kota asing yang menjalin persekutuan dengan Roma sering kali dianugerahi Ius Latii (hak adat orang Latini), yakni status di antara warga negara Romawi yang seutuhnya dan warga asing (peregrini), sehingga mereka mendapatkan hak-hak warga negara berdasarkan hukum Romawi dan para petingginya berpeluang menjadi warga negara Romawi yang seutuhnya. Kendati cakupannya berbeda-beda, ada dua macam Ius Latii yang utama, yakni cum suffragio (dengan hak suara, yakni dibenarkan untuk ikut serta dalam tribus dan comitia tributa) dan sine suffragio (tanpa hak suara, yakni tidak dibenarkan ikut campur dalam urusan politik Romawi). Sebagian besar negara kota sekutu Roma di Jazirah Italia diberi kewarganegaraan penuh seusai Perang Sekutu tahun 91–88 SM, dan kewarganegaraan Romawi penuh dianugerahkan kepada semua laki-laki yang terlahir merdeka di wilayah Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Caracalla pada tahun 212 M.

Pada permulaan zaman Republik Romawi, belum ada sekolah-sekolah untuk umum, sehingga anak-anak lelaki diajari baca tulis oleh orang tua masing-masing, atau oleh seorang budak terpelajar yang disebut paedagogus, dan lazimnya berkebangsaan Yunani.[169][170][171] Tujuan utama pendidikan kala itu adalah melatih anak-anak muda agar menguasai ilmu bercocok tanam, ilmu perang, adat istiadat bangsa Romawi, dan urusan-urusan kepamongprajaan.[169] Remaja-remaja lelaki banyak belajar tentang kehidupan bermasyarakat dengan cara menyertai ayah mereka menghadiri acara-acara keagamaan dan politik, termasuk menghadiri sidang-sidang senatus bagi putra-putra keluarga ningrat.[170] Jika sudah berumur 16 tahun, putra-putra keluarga ningrat biasanya magang pada tokoh-tokoh politik terkemuka, dan ikut berperang bersama angkatan bersenjata saat berumur 17 tahun. Aturan ini masih diterapkan oleh sejumlah keluarga ningrat pada zaman kekaisaran.[170] Praktik-praktik pendidikan diubah suai seiring masuknya pengaruh Yunani sesudah kerajaan-kerajaan Helenistik ditaklukkan pada abad ke-3, kendati praktik-praktik pendidikan Romawi tetap saja berbeda jauh dari praktik-praktik pendidikan Yunani.[170][172] Jika orang tua mampu menanggung biayanya, anak-anak lelaki dan beberapa anak perempuan yang sudah berumur 7 tahun dimasukkan ke sekolah swasta di luar rumah yang disebut ludus. Gurunya disebut litterator atau magister ludi, dan sering kali berkebangsaan Yunani. Di sekolah ini, murid-murid mendapatkan pelajaran dasar membaca, menulis, aritmetika, dan kadang-kadang bahasa Yunani, sampai mereka berumur 11 tahun.[170][171][173]

Murid-murid yang sudah berumur 12 tahun menempuh pendidikan di sekolah sekunder. Gurunya disebut grammaticus, dan mengajarkan kesusastraan Yunani dan Romawi.[170][173] Sesudah berumur 16 tahun, sebagian murid melanjutkan pendidikan di sekolah retorika. Gurunya disebut rhetor, dan lazimnya berkebangsaan Yunani.[170][173] Pendidikan pada tahap ini bertujuan mempersiapkan murid untuk berkarier di bidang hukum, sehingga mewajibkan mereka untuk menghafal undang-undang Roma.[170] Murid-murid bersekolah setiap hari, kecuali pada hari besar keagamaan dan hari-hari pasar. Ada pula masa libur setiap musim panas.

Pada mulanya, Roma diperintah oleh raja-raja, yang silih berganti dipilih dari suku-suku utama di kota Roma.[174] Hakikat kewenangan Raja Roma tidak diketahui secara pasti. Mungkin saja nyaris mutlak, dan mungkin pula setaraf kewenangan eksekutif kemanunggalan sesepuh dan rakyat. Setidaknya dalam urusan militer, kewenangan memerintah (Imperium) raja mungkin sekali bersifat mutlak. Raja juga merupakan panatagama negara. Di samping kewenangan raja, masih ada tiga lembaga tata usaha negara, yakni senatus, comitia curiata, dan comitia calata. Senatus (majelis sesepuh) bertindak selaku dewan penasihat raja, comitia curiata (sidang majelis perkauman) berwenang mengajukan dan mengesahkan undang-undang yang dicetuskan raja, sementara comitia calata (sidang majelis pengimbauan) adalah sidang majelis para pendeta yang berwenang mengumpulkan rakyat untuk menyaksikan tindakan tertentu, mendengarkan pengumuman, dan menetapkan perayaan-perayaan serta hari-hari besar keagamaan untuk bulan berikutnya.

Pertentangan antargolongan di negara Republik Romawi memunculkan suatu tatanan campuran antara demokrasi dan oligarki. Istilah "republik" berasal dari kata Latin res publica, yang makna harfiahnya adalah "urusan kemasyarakatan". Menurut tradisi, rancangan undang-undang hanya boleh diloloskan melalui pemungutan suara dalam sidang rakyat (comitia tributa, sidang majelis warga suku). Calon-calon pejabat publik pun ditetapkan oleh rakyat. Kendati demikian, senatus menjadi semacam lembaga oligarki, yang bertindak selaku dewan penasihat.

Pada zaman republik, senatus sungguh-sungguh memiliki kewenangan (auctoritas), tetapi tidak memiliki kuasa legislatif yang nyata. Pada dasarnya senatus hanyalah sebuah dewan penasihat. Kendati demikian, karena tiap-tiap senator adalah tokoh yang sangat berpengaruh, maka sukar sekali mengambil tindakan apa pun yang bertentangan dengan mufakat senatus. Senator-senator baru dipilih dari antara tokoh-tokoh patricius yang paling cendekia oleh jawatan cacah jiwa (bahasa Latin: censura), yang juga berwenang memakzulkan seorang senator jika kedapatan "bobrok akhlaknya", misalnya menerima suap, atau memeluk istri orang di muka umum seperti pada zaman Cato Tua. Diktator Sulla pernah mengatur agar orang-orang yang terpilih menjadi quaestor (penyidik) serta merta juga menjadi anggota senatus, tetapi praktik semacam ini tidak bertahan lama.

Republik Romawi tidak memiliki birokrasi yang bersifat tetap, dan mengumpulkan pajak dengan cara menjual hak memungut cukai kepada pemborong. Jawatan quaestor, aedilis, atau praefect didanai oleh si penyandang jabatan. Agar tak seorang pun warga negara memiliki wewenang berlebih, para magistratus baru dipilih tiap-tiap tahun dan harus berbagi kewenangan kekuasaan dengan seorang rekan sejawatnya. Sebagai contoh, dalam keadaan normal, kewenangan tertinggi dipegang oleh dua orang consul. Dalam keadaan darurat, dapat ditunjuk seorang dictator (pengarah) untuk memegang kewenangan tertinggi untuk sementara waktu. Sepanjang zaman republik, sistem tata usaha negara berulang kali diperbaiki agar selaras dengan keperluan-keperluan yang baru muncul. Pada akhirnya, sistem tata usaha negara Republik Romawi terbukti tidak efisien untuk digunakan mengatur wilayah kekuasaan Roma yang terus-menerus bertambah luas, dan menjadi salah satu faktor yang mendorong lahirnya Kekaisaran Romawi.

Pada permulaan zaman kekaisaran, pemerintah tetap saja berlagak seakan-akan negara masih berbentuk republik. Kaisar Romawi hanya dicitrakan sebagai seorang princeps, "warga negara nomor satu", sementara senatus mengambil alih kuasa legislatif dan seluruh kewenangan hukum yang sebelumnya dikuasai oleh sidang-sidang rakyat. Kendati demikian, pemerintahan para kaisar kian lama kian autokratis, dan senatus akhirnya menjadi sekadar dewan penasihat yang diangkat oleh kaisar. Kekaisaran Romawi tidak mewarisi perangkat birokrasi dari zaman republik, karena Republik Romawi tidak memiliki struktur-struktur pemerintahan yang permanen selain senatus. Kaisar mengangkat para pembantu dan penasihat, tetapi Kekaisaran Romawi tetap saja kekurangan banyak lembaga negara, misalnya lembaga penyusun anggaran belanja negara yang terpusat. Beberapa sejarawan mengedepankan hal ini sebagai salah satu faktor penting yang menjadi biang keladi kemerosotan Kekaisaran Romawi.

Sebagaimana angkatan bersenjata negara-negara kota pada zamannya yang terpengaruh peradaban Yunani, angkatan bersenjata Romawi terdahulu (ca. tahun 500 SM) adalah barisan militia warga kota yang menerapkan siasat perang ala hoplites. Jumlah personelnya tidak seberapa (populasi laki-laki merdeka yang layak bertempur kala itu berjumlah sekitar 9.000 jiwa) dan ditata menjadi lima golongan prajurit, sama seperti lima golongan Comitia Centuriata (sidang majelis seratus warga), lembaga politik warga Roma. Tiga pasukan beranggotakan para hoplites (prajurit berperlengkapan tombak dan perisai), dan dua pasukan beranggotakan para prajurit pejalan kaki bersenjata ringan. Angkatan bersenjata Romawi terdahulu terbatas siasat tempurnya, dan pada dasarnya disiagakan untuk bertahan.[175][176][177]

Pada abad ke-3 SM, bangsa Romawi meninggalkan gelar pasukan hoplites dan beralih ke suatu tatanan yang lebih luwes, yakni satuan-satuan beranggotakan 120 (kadang-kadang 60) prajurit yang disebut manipulus, yang mampu berolah gerak secara lebih mandiri di medan tempur. Tiga puluh satuan manipulus dalam tiga barisan berikut pasukan-pasukan bantu merupakan satu legiun (bahasa Latin: legio), dengan jumlah keseluruhan antara 4.000 dan 5.000 prajurit.[175][176]

Satu legiun Republik Romawi terdahulu terdiri atas lima macam pasukan dengan perlengkapan dan posisi yang berbeda dalam gelar pasukan, yakni tiga baris manipulus pejalan kaki bersenjata berat (barisan hastati, barisan principes, dan barisan triarii), sepasukan prajurit pejalan kaki bersenjata ringan (velites), dan sepasukan prajurit berkuda (equites). Seiring pertumbuhan negara, orientasi angkatan bersenjata pun bergeser dari pertahanan ke penyerangan, dan sikapnya pun menjadi jauh lebih garang terhadap negara-negara kota di sekitarnya.[175][176]

Pada masa-masa awal berdirinya Republik Romawi, satu legiun berkekuatan penuh sewajarnya beranggotakan 4.000 sampai 5.000 prajurit, terdiri atas 3.600 sampai 4.800 prajurit pejalan kaki bersenjata berat, beberapa ratus prajurit pejalan kaki bersenjata ringan, dan beberapa ratus prajurit berkuda.[175][178][179] Legiun-legiun sering kali sangat kekurangan anggota, baik karena kegagalan perekrutan angota baru maupun karena kehilangan anggota lama yang mengalami kecelakaan, menjadi korban pertempuran, terserang penyakit, atau melakukan desersi. Semasa perang saudara, legiun-legiun Gnaeus Pompeius di wilayah timur berkekuatan penuh karena baru saja direkrut, sementara kekuatan tempur legiun-legiun Gaius Iulius Caesar kebanyakan jauh di bawah angka wajar selepas masa bakti di Galia. Keadaan yang sama juga berlaku pada pasukan-pasukan bantu masing-masing.[180][181]

Sampai menjelang berakhirnya zaman Republik Romawi, legiuner lazimnya adalah petani Romawi pemilik tanah dari desa (seorang adsiduus) yang menjalani masa bakti sebagai prajurit dalam aksi militer tertentu (sering kali setiap tahun),[182] menyiapkan sendiri perlengkapan tempur dan, khusus bagi para equites, tunggangannya. Harris menduga bahwa sampai dengan tahun 200 SM, para petani biasa (yang bertahan hidup) dari desa mungkin ikut serta dalam enam atau tujuh pertempuran. Para mantan budak beserta para budak (di mana pun berada) dan warga kota tidak diikutsertakan, kecuali dalam keadaan darurat.[183]

Selepas tahun 200 SM, kondisi ekonomi di daerah pedesaan mengalami kemerosotan seiring meningkatnya kebutuhan akan tenaga manusia, sehingga tolok ukur jumlah harta kekayaan yang harus dimiliki seorang warga negara untuk dapat menjalani masa bakti militer pun lambat laun diturunkan. Mulai dari masa kepemimpinan Gaius Marius pada tahun 107 SM, rakyat yang tidak memiliki harta berupa tanah dan bangunan serta rakyat yang berdiam di kota-kota (proletarii) boleh diikutsertakan dan dipersenjatai, kendati sebagian besar legiuner tetap saja berasal dari daerah pedesaan. Masa bakti menjadi berkesinambungan dan diperpanjang sampai 20 tahun jika mendadak diperlukan, kendati masa bakti enam atau tujuh tahun masih tetap lazim.[184]

Semenjak abad ke-3 SM, para legiuner diberi stipendium (uang jasa). Jumlahnya masih diperdebatkan, tetapi kabarnya Gaius Iulius Caesar pernah "menggandakan" jumlah stipendium para legiunernya hingga mencapai 225 keping denarius setahun. Mereka juga berpeluang mendapatkan harta jarahan dan donativum (uang lelah), yakni jatah pembagian hasil jarahan dari pimpinan seusai menang bertempur. Semenjak zaman Gaius Marius, mereka juga kerap dianugerahi sebidang tanah selepas masa bakti.[175][185] Prajurit berkuda dan prajurit pejalan kaki bersenjata ringan tergabung dalam satu legiun, yakni legio auxilia (legiun bantu), dan sering kali direkrut dari masyarakat yang mendiami daerah-daerah tempat tugas legiun yang bersangkutan. Gaius Iulius Caesar pernah membentuk selegiun prajurit yang direkrut dari penduduk bukan warga negara Romawi yang bermukim di Galia Transalpina untuk dikerahkan dalam aksi-aksi militer yang dipimpinnya di Galia. Angkatan ini diberi nama Legio Quinta Alaudae (Legiun ke-5, Branjangan).[186] Pada zaman Augustus, gagasan bahwa prajurit adalah rakyat yang ikut serta dalam usaha bela negara sudah ditinggalkan, dan angkatan bersenjata pun sudah sepenuhnya bersifat profesional. Para legiuner digaji 900 keping sestertius setahun, dan berpeluang menerima uang lepas sebesar 12.000 keping sestertius.[187]

Seusai perang saudara, Augustus menata ulang pasukan-pasukan angkatan bersenjata Romawi. Sejumlah besar prajurit dibebastugaskan dan banyak legiun dibubarkan, sehingga hanya tersisa 28 legiun, yang ia sebar ke seluruh provinsi kekaisaran.[188] Pada zaman para princeps, tatanan taktis angkatan bersenjata sedikit demi sedikit terus berkembang. Legio auxilia tetap menjadi cohors (kesatuan taktis standar) mandiri, dan pasukan-pasukan legiuner sering kali menjalankan tugas sebagai sekelompok cohors, alih-alih sebagai sekelompok legiun utuh. Kesatuan jenis baru yang serbaguna, cohors equitata, memadukan prajurit-prajurit berkuda dan para legiuner dalam satu kesatuan. cohors equitata dapat ditempatkan di garnisun-garnisun atau pangkalan-pangkalan pertahanan tapal batas, dan dapat bergerak sendiri selaku kesatuan kecil yang berimbang maupun digabungkan dengan kesatuan-kesatuan sejenisnya menjadi satu kesatuan bertaraf legiun. Peningkatan fleksibilitas dalam pengaturan angkatan bersenjata ini turut memastikan keberhasilan pasukan-pasukan militer Romawi dalam jangka panjang.[189]

Kaisar Gallienus (253–268 M) memprakarsai usaha penataan ulang yang menghasilkan tatanan militer Romawi sebagaimana adanya pada penghujung zaman kekaisaran. Gallienus menarik sejumlah legiun dari tempat tugas tetap mereka di tapal batas wilayah kekaisaran, dan mengubah mereka menjadi kesatuan-kesatuan tempur berpindah-pindah (comitatenses) dan menyiagakan mereka pada jarak tertentu dari tapal batas sebagai pasukan cadangan stategis. Pasukan-pasukan pengawal perbatasan (limitanei), yang bertugas tetap di pangkalan-pangkalan pertahanan, tetap menjadi ujung tombak pertahanan negara. Kesatuan tempur dasar adalah resimen, yang disebut legio atau auxilia untuk pasukan pejalan kaki, dan vexellationes untuk pasukan berkuda. Bukti-bukti menyiratkan bahwa satu resimen berkekuatan nominal 1.200 personel untuk pasukan pejalan kaki, dan 600 personel untuk pasukan berkuda, kendati ada banyak keterangan tertulis yang menunjukkan jumlah nyata yang lebih kecil (800 personel untuk pasukan pejalan kaki dan 400 personel untuk pasukan berkuda).[190]

Banyak resimen prajurit pejalan kaki dan prajurit berkuda yang dikerahkan berpasangan di bawah pimpinan seorang comes. Selain pasukan-pasukan prajurit berkebangsaan Romawi, angkatan tempur juga terdiri atas resimen-resimen "orang barbar" yang direktur dari suku-suku barbar sekutu Romawi yang disebut foederati. Pada tahun 400 M, resimen-resimen foederati sudah menjadi kesatuan-kesatuan permanen dalam angkatan bersenjata Kekaisaran Romawi. Resimen-resimen foederati digaji dan dipersenjatai kekaisaran, dipimpin oleh seorang tribunus berkebangsaan Romawi, dan difungsikan sebagaimana kesatuan-kesatuan prajurit Romawi lainnya. Selain resimen-resimen foederati, Kekaisaran Romawi juga memanfaatkan laskar-laskar orang barbar untuk bertempur bersama-sama legiun-legiun Romawi sebagai "sekutu" tanpa perlu dijadikan bagian dari angkatan tempur. Di bawah arahan seorang senapati Romawi, laskar-laskar ini digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mereka sendiri.[190]

Kepemimpinan angkatan bersenjata berkembang sedikit demi sedikit dari zaman ke zaman. Pada zaman kerajaan, angkatan bersenjata terdiri atas prajurit-prajurit hoplites yang dipimpin langsung oleh Raja Roma. Pada permulaan dan pertengahan zaman republik, pasukan-pasukan angkatan bersenjata dipimpin oleh salah seorang dari sepasang consul yang terpilih untuk menjabat pada tahun berjalan. Menjelang berakhirnya zaman republik, sebagai bagian dari jenjang jabatan yang lumrah didaki para pejabat publik pilihan rakyat, yang disebut cursus honorum (tahapan kehormatan), seorang anggota senatus mula-mula memegang jabatan quaestor (sering kali ditugaskan selaku wakil panglima angkatan tempur), selanjutnya memegang jabatan praetor.[191][192] Bawahan Gaius Iulius Caesar yang paling berbakat, efektif, dan andal di Galia, Titus Labienus, adalah orang yang direkomendasikan oleh Pompeius.[193]

Sehabis menjalani masa bakti selaku praetor atau consul, seorang senator dapat diangkat senatus menjadi propraetor atau proconsul (berdasarkan jabatan paling tinggi yang ia pegang sebelumnya) dengan tugas mengepalai pemerintahan di salah satu provinsi jajahan. Perwira-perwira yang lebih rendah (sampai dengan tetapi tidak termasuk centurio) adalah orang-orang yang dipilih oleh senapati masing-masing dari antara para anak semang (clientelae) si senapati, atau orang-orang yang direkomendasikan oleh sekutu-sekutu politik si senapati di kalangan senatus.[191]

Pada masa pemerintahan Augustus, yang berusaha menempatkan militer di bawah kepemimpinan tunggal yang permanen, kaisar adalah senapati sah dari tiap-tiap legiun, tetapi menjalankan kewenangannya selaku senapati legiun melalui seorang legatus (duta) yang ia pilih dari kalangan senatus. Di provinsi yang dijaga satu legiun saja, si duta kaisar mengepalai legiun (legatus legionis) sekaligus mengepalai pemerintahan provinsi, sementara di provinsi yang dijaga lebih dari satu legiun, tiap-tiap legiun dikepalai oleh seorang duta kaisar, dan para duta kaisar dikepalai oleh wali negeri (juga seorang duta kaisar, tetapi lebih tinggi pangkatnya).[194]

Menjelang berakhirnya zaman kekaisaran (mungkin semenjak masa pemerintahan Diocletianus), tata kepemimpinan militer ala Augustus ditinggalkan. Kewenangan militer para wali negeri dicabut, dan kepemimpinan angkatan bersenjata di sekelompok provinsi dipercayakan kepada seorang senapati (dux) yang diangkat oleh kaisar. Para senapati bukan lagi orang-orang yang dipilih dari kalangan atas Romawi, melainkan orang-orang yang berjaya mendaki jejang kepangkatan dalam angkatan bersenjata berkat kecakapan masing-masing. Sejalan dengan pertambahan jumlahnya, pemimpin-pemimpin militer semacam ini pun berusaha (adakalanya berhasil) merebut jabatan kaisar yang telah mengangkat mereka. Menyusutnya sumber-sumber daya, meningkatnya kekacauan politik, serta maraknya perang saudara menggerogoti ketahanan bagian barat Kekaisaran Romawi, sehingga akhirnya dapat direbut oleh suku-suku barbar di sekitarnya.[195]

Informasi mengenai angkatan laut Romawi jauh lebih sedikit daripada informasi mengenai angkatan daratnya. Sebelum pertengahan abad ke-3 SM, pejabat-pejabat negara yang disebut duumviri navales memimpin armada 20 kapal dengan misi utama memberantas bajak laut. Armada-armada ini ditiadakan pada tahun 278 M, dan diganti dengan angkatan-angkatan laut sekutu. Perang Punik I memaksa Roma membentuk armada-armada raksasa. Roma akhirnya membentuk armada-armada yang dibutuhkannya dengan bantuan dan dana dari sekutu-sekutunya. Ketergantungan pada sekutu berlanjut sampai zaman republik berakhir. Quinqueremis adalah jenis kapal-kapal perang yang dikerahkan kedua belah pihak selama berlangsungnya perang-perang Punik, dan tetap menjadi tulang punggung angkatan laut Romawi sampai akhirnya digantikan dengan kapal-kapal yang lebih ringan dan lebih lincah berolah gerak pada masa pemerintahan Augustus.[196]

Dibanding triremis, quinqueremis dapat diawaki oleh tenaga-tenaga kawakan maupun yang belum berpengalaman (suatu keuntungan bagi sebuah negara dengan angkatan darat sebagai kekuatan tempur utama), dan kemampuan olah geraknya yang kurang lincah membuat bangsa Romawi menggunakan dan menyempurnakan siasat-siasat serbu kapal yang memanfaatkan tenaga sekitar 40 orang prajurit laut, alih-alih menggunakan hulu pembobol. Kapal-kapal berolah gerak mengikuti aba-aba dari nauarchus, perwira setingkat centurio, yang lazimnya bukan warga negara Romawi. Potter menduga bahwa karena didominasi bangsa-bangsa non-Romawi, armada-armada tempur dianggap sebagai angkatan asing, sehingga dibiarkan susut pada masa-masa damai.[196]

Informasi yang ada menyiratkan bahwa menjelang berakhirnya zaman kekaisaran (350 M), angkatan laut Romawi terdiri atas sejumlah armada kapal perang maupun kapal niaga pengangkut prajurit dan perbekalan tempur. Kapal-kapal perang adalah galai-galai yang digerakkan tiga sampai empat baris pendayung. Pangkalan-pangkalan laut berlokasi di bandar-bandar seperti Ravenna, Arles, Aquilea, Misenum, serta muara Sungai Somme di kawasan barat, dan Aleksandria serta Rodos di kawasan timur. Armada-armada katai yang terdiri atas wahana-wahana sungai berukuran kecil (classis) merupakan bagian dari limitanei (pasukan penjaga perbatasan) kala itu, berpangkalan di bandar-bandar berbenteng di sepanjang tepian Sungai Rhein dan Sungai Donau. Kenyataan bahwa senapati-senapati terkemuka mengepalai angkatan darat maupun angkatan laut menyiratkan bahwa kala itu angkatan laut digunakan sebagai kekuatan penunjang angkatan darat, bukan sebagai angkatan tersendiri. Perincian struktur komando dan kekuatan armada pada kurun waktu ini tidak diketahui secara jelas, kendati dapat dipastikan bahwa masing-masing armada dipimpin oleh seorang praefectus (pemuka).[197]

Bangsa Romawi Kuno menguasai daratan yang sangat luas dengan sumber daya alam dan manusia yang berlimpah-limpah. Dengan kelimpahan sumber daya alam dan manusia ini, perekonomian Roma tetap mengutamakan usaha pertanian dan perniagaan. Perdagangan bebas hasil-hasil pertanian mengubah bentang alam Jazirah Italia, dan pada abad pertama SM, kebun-kebun anggur dan zaitun yang luas telah menggeser lahan-lahan para petani kecil, yang kalah bersaing harga dengan gandum impor. Aneksasi atas Mesir, Sisilia, dan Tunisia menciptakan aliran masuk pasokan gandum tanpa henti ke Roma. Sebaliknya, minyak zaitun dan minuman anggur menjadi barang-barang impor utama yang mengalir keluar dari Jazirah Italia. Bangsa Romawi mempraktikkan gilir tanam dua jenis tumbuhan, tetapi produktivitas pertanian tetap rendah, kira-kira 1 ton per hektar.

Kegiatan industri dan manufaktur lebih kecil lagi angkanya. Kegiatan paling besar di bidang ini adalah penambangan batu, yang digunakan sebagai bahan baku bangunan pada masa itu. Di bidang manufaktur, skala produksi relatif kecil, dan pada umumnya terdiri atas sanggar-sanggar produksi dan pabrik-pabrik kecil yang mempekerjakan sebanyak-banyaknya satu dua lusin karyawan. Kendati demikian, ada pula beberapa pabrik batu bata yang mempekerjakan ratusan karyawan.

Perekonomian Republik Romawi permulaan kurun waktu republik lebih banyak bertumpu pada usaha kecil dan tenaga kerja upahan. Namun perang dan penaklukan atas bangsa-bangsa lain mendatangkan budak-budak belian yang kian lama kian bertambah jumlahnya dan kian murah harganya, sehingga perekonomian Republik Romawi menjelang akhir kurun waktu republik sudah sangat bergantung pada tenaga budak belian, baik yang terampil maupun yang tidak terampil. Diperkirakan 20% dari keseluruhan populasi Kekaisaran Romawi, dan 40% dari populasi kota Roma kala itu, adalah budak belian. Hanya di Kekaisaran Romawi sajalah orang dapat lebih berhemat jika mempekerjakan tenaga upahan alih-alih membeli budak belian, setelah aksi-aksi penaklukan dihentikan dan harga budak belian melambung tinggi.

Kendati bangsa Romawi Kuno menggunakan cara barter, bahkan dalam urusan pengumpulan pajak, Roma sudah membuat dan memanfaatkan uang logam. Kepingan-kepingan uang kuningan, perunggu, dan logam mulia beredar di dalam maupun di luar wilayah kekaisaran Romawi, bahkan ada kepingan uang Romawi yang ditemukan di India. Sebelum abad ke 3 SM, tembaga diperdagangan menurut bobotnya, dalam tumpukan-tumpukan tak bertanda di seluruh kawasan tengah Italia. Nilai nominal sekeping uang tembaga mula-mula setara dengan nilai tembaga seberat satu pon Romawi, tetapi bobotnya kurang dari satu pon. Dengan demikian, nilai kepingan uang logam Romawi sebagai alat tukar secara konsisten melebihi nilai intrinsiknya sebagai logam. Sesudah Nero mulai menurunkan mutu kepingan perak denarius, nilai tukarnya yang sah diperkirakan sepertiga lebih besar daripada nilai intrinsiknya.

Kuda mahal harganya, sementara satwa angkut jenis lain lebih lamban jalannya. Kegiatan jual beli diperlancar oleh jalan-jalan raya Romawi yang menghubungkan markas-markas tentara Romawi, tempat pasar-pasar Romawi berpusat.[198] Jalan-jalan raya ini dirancang khusus untuk dilalui kendaraan beroda.[199] Sebagai akibatnya, timbul kegiatan angkut komoditas antardaerah dalam wilayah kekuasaan bangsa Romawi, yang bertambah seiring meningkatnya kegiatan niaga bahari Romawi pada abad ke-2 SM. Kala itu satu kapal niaga hanya perlu waktu kurang dari sebulan untuk menempuh jalur pelayaran dari Gades sampai ke Aleksandria via Ostia, sama dengan panjang keseluruhan Laut Tengah.[108] Ongkos angkut lewat laut kira-kira 60 kali lebih murah dibanding lewat darat, sehingga volume angkutan lewat laut juga jauh lebih besar.

Menurut sebagian ekonom, perekonomian Kekaisaran Romawi adalah perekonomian pasar, praktik kapitalisnya setaraf dengan Negeri Belanda pada abad ke-17 dan Inggis pada abad ke-18.[200]

Satuan dasar masyarakat Romawi adalah rumah tangga (bahasa Latin: familia) dan keluarga besar (bahasa Latin: gens).[167] Rumah tangga beranggotakan orang-orang yang tinggal seatap, yakni kepala rumah tangga, yang disebut pater familias (bapa rumah tangga), istrinya, anak-anaknya, dan sanak saudaranya. Rumah-rumah tangga kelas atas juga beranggotakan budak-budak belian dan para pelayan.[167] Kepala rumah tangga memiliki kewenangan mutlak, yang disebut patria potestas (kuasa keayahan), atas semua orang yang tinggal seatap dengannya. Ia berwenang menjodohkan, menceraikan, maupun menjual anak-anaknya sebagai budak belian. Ia juga berwenang mengklaim harta benda milik anggota rumah tangganya sebagai harta bendanya sendiri, bahkan berwenang menghukum maupun membunuh anggota rumah tangganya. Kewenangan yang terakhir ini agaknya tidak lagi dijalankan selepas abad pertama SM.[202]

Patria potestas juga menaungi putra-putra pater familias yang sudah dewasa, berikut rumah tangga mereka masing-masing. Seorang laki-laki tidak dianggap sebagai pater familias, dan tidak pula benar-benar memiliki harta benda, selama ayahnya masih hidup.[202][203] Pada permulaan sejarah Romawi Kuno, seorang perempuan yang sudah menikah dengan sendirinya tunduk di bawah manus (pengaturan) pater familias keluarga besar suaminya. Adat semacam ini sudah ditinggalkan menjelang berakhirnya zaman republik, karena seorang perempuan kala itu boleh memilih untuk tetap menjadi anggota keluarga ayahnya sendiri, alih-alih menjadi anggota keluarga besar suaminya.[204] Kendati demikian, semua anak yang ia lahirkan tetap terbilang sebagai anggota keluarga suaminya, karena bangsa Romawi merunut hubungan kekerabatan melalui alur silsilah laki-laki.[205]

Anak-anak Romawi Kuno kurang dicurahi kasih sayang. Anak-anak lelaki maupun perempuan diasuh oleh ibu atau salah seorang kerabat mereka yang sudah uzur. Anak-anak yang tidak diinginkan oleh orang tuanya sering kali dijual sebagai budak belian.[206] Anak-anak boleh ikut bersantap bersama seluruh anggota keluarga di meja makan, tetapi tidak diperbolehkan ikut berbincang-bincang bersama orang-orang dewasa.[202]

Anak-anak keluarga ningrat biasanya diajari bahasa Latin dan bahasa Yunani oleh seorang inang pengasuh berkebangsaan Yunani. Anak-anak lelaki diajari kepandaian berenang dan berkuda oleh ayah mereka, tetapi adakalanya si ayah cukup mengupah seorang budak untuk menggantikannya. Anak-anak lelaki Romawi Kuno mulai bersekolah pada umur tujuh tahun. Karena tidak ada gedung sekolah, kegiatan belajar mengajar dilakukan di atas sotoh rumah. Jika hari gelap, murid harus membawa serta pelita ke sekolah. Loh-loh berlapis malam digunakan sebagai media tulis karena papirus dan perkamen terlampau mahal. Anak-anak dapat pula belajar menulis di permukaan pasir. Bekal makanan yang mereka bawa ke sekolah adalah seketul roti.[207]

Rumah-rumah tangga yang berkerabat membentuk satu keluarga besar (gens). Selain merupakan kelompok kekerabatan yang dipersatukan oleh pertalian darah atau adopsi, keluarga besar juga merupakan persekutuan politik dan ekonomi. Sejumlah keluarga terkemuka (gens maior, jamak: gentes maiores) tampil mendominasi kancah politik, teristimewa pada zaman republik.

Bagi masyarakat Romawi Kuno, terutama masyarakat kalangan atas, perkawinan sering kali dipandang sebagai persekutuan harta dan politik ketimbang persatuan sepasang kekasih. Seorang ayah biasanya mulai mencari-cari calon menantu saat anak gadisnya berumur antara dua belas dan empat belas tahun. Suami lazimnya lebih tua daripada istri, dan jika anak-anak gadis kalangan atas menikah pada usia yang sangat muda, maka ada bukti bahwa perempuan-perempuan di luar kalangan atas sering kali kawin umur akhir belasan tahun atau awal 20-an tahun.

Kehidupan masyarakat Romawi Kuno berkisar di seputar kota Roma, yang luasnya mencakup tujuh bukit. Ada banyak sekali bangunan raksasa di kota ini, antara lain Amphitheatrum Flavium (gelanggang pertunjukan Flavius), Forum Traiani (alun-alun Traianus), dan Pantheum (kuil segala dewa-dewi). Ada pula gedung-gedung pementasan, gedung-gedung perguruan sekaligus pusat kebugaran, pasar-pasar, gorong-gorong pembuangan, rumah-rumah pemandian lengkap dengan perpustakaan dan toko-toko, serta pancuran-pancuran air minum yang dialirkan beratus-ratus meter melalui akuaduk-akuaduk. Jenis bangunan hunian di seluruh wilayah Romawi Kuno berkisar dari rumah-rumah tinggal sederhana sampai vila-vila di daerah pedesaan.

Di ibu kota Roma, wisma-wisma kediaman kaisar berdiri megah di Bukit Palatium. Kaum Plebs dan kaum Eques tinggal di pusat kota, berdesak-desakan dalam hunian-hunian susun atau Insula, yang mirip sekali dengan kampung-kampung kumuh pada Zaman Modern. Hunian-hunian yang sering kali dibangun oleh juragan-juragan tanah dari kalangan atas untuk disewakan ini kerap berpusat pada suatu collegium (perhimpunan) atau taberna (kedai). Para penghuninya dijatahi pasokan gandum cuma-cuma, dihibur dengan pertunjukan-pertunjukan adu ketangkasan gladiator, dan terikat dalam hubungan anak semang - induk semang dengan orang-orang Patricius, yakni orang-orang yang mereka mintai bantuan dan yang kepentingannya mereka junjung.

Bahasa asli bangsa Romawi adalah bahasa Latin, salah satu bahasa dalam rumpun bahasa Italik. Tata bahasa Latin sedikit sekali bergantung pada urut-urutan kata, dan justru mengandalkan sistem pengimbuhan kata dasar sebagai sarana penyampai maksud.[208] Aksaranya dikembangkan dari aksara Etruski, yang diturunkan dari aksara Yunani.[209] Sekalipun seluruh karya sastra Latin yang sintas sampai sekarang adalah karya-karya susastra yang ditulis dalam bahasa Latin Klasik, sebuah bahasa susastra yang sangat tertata lagi muluk berbunga-bunga dari abad pertama sebelum permulaan tarikh Masehi, bahasa tutur di Kekaisaran Romawi sesungguhnya adalah bahasa Latin Umum, yang cukup berbeda dari bahasa Latin Klasik, baik dalam tata bahasa maupun kosakata, dan ujung-ujungnya juga dalam pelafalan.[210] Para penutur bahasa Latin mampu memahami kedua ragam bahasa ini sampai dengan abad ke-7, manakala bahasa tutur sudah sangat jauh menyimpang dari bahasa susastra sampai-sampai 'bahasa Latin Klasik' alias 'bahasa Latin yang baik dan benar' harus dipelajari sebagai bahasa sekunder.[211]

Kendati bahasa Latin tetap menjadi bahasa sastra utama di Kekaisaran Romawi, posisinya sebagai bahasa tutur akhirnya tergeser oleh bahasa Yunani, yang menjadi bahasa para petinggi terpelajar, karena sebagian besar karya sastra yang dipelajari oleh bangsa Romawi tertulis dalam bahasa Yunani. Di belahan timur Kekaisaran Romawi, yang kelak menjadi Kekaisaran Romawi Timur, bahasa Latin tidak kunjung mampu menggeser bahasa Yunani, dan sesudah kemangkatan Kaisar Iustinianus, bahasa Yunani menjadi bahasa resmi pemerintahan Kekaisaran Romawi Timur.[212] Gerak ekspansi Kekaisaran Romawi telah menyebarluaskan bahasa Latin ke seluruh Eropa. Bahasa Latin Umum pun berkembang menjadi macam-macam dialek yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, dan lambat laun berubah menjadi bahasa-bahasa berlainan yang kini digolongkan ke dalam rumpun bahasa Romawi.

Agama asli bangsa Romawi, setidaknya mengenai dewa-dewinya, bukanlah sekumpulan narasi tertulis, melainkan hal ihwal hubungan timbal balik antara dewa-dewi dan umat manusia.[213] Berbeda dari dewa-dewi Yunani, dewa-dewi Romawi tidak dipersonifikasi, tetapi secara taksa diartikan sebagai roh-roh suci yang disebut numina. Bangsa Romawi juga percaya bahwa tiap-tiap orang, tempat, atau benda memiliki penunggu niskala (genius) masing-masing. Kehidupan beragama pada zaman republik diatur secara ketat oleh jawatan rohaniwan, yang beranggotakan orang-orang berpangkat senator. Collegium Pontificum (majelis begawan) menempati jenjang teratas dalam jawatan ini, dan Pontifex Maximus (begawan tertinggi), ketua Collegium Pontificum, adalah pemimpin agama negara. Para flamen (pendeta) mengurusi hal-ihwal kebaktian kepada dewa-dewi, sementara para augur (penenung) dipercaya menilik untung malang orang dengan cara menafsirkan gelagat. Rex Sacrorum (raja keramat) menjalankan segala tanggung jawab keagamaan dari raja-raja yang dimakzulkan. Pada zaman kekaisaran, kaisar didewakan,[214][215] dan penyembahan terhadap kaisar sebagai dewa diutamakan.

Seiring meningkatnya perhubungan dengan bangsa Yunani, dewa-dewi lama bangsa Romawi lambat laun disamakan dengan dewa-dewi bangsa Yunani.[216] Iuppiter dianggap sama dengan Zeus, Mars dianggap sama dengan Ares, dan Neptunus dianggap sama dengan Poseidon. Dewa-dewi bangsa Romawi juga dihubung-hubungan dengan alat-alat kebesaran dan berbagai mitologi yang serupa dengan dewa-dewi bangsa Yunani. Pada zaman kekaisaran, bangsa Romawi menyerap mitologi bangsa-bangsa taklukan mereka, sampai-sampai kuil-kuil dewa-dewi asli Jazirah Italia tegak berdampingan dengan kuil-kuil dewa-dewi asing.[217]

Semenjak zaman pemerintahan Kaisar Nero pada abad pertama tarikh Masehi, sikap resmi bangsa Romawi terhadap agama Kristen bersifat negatif, bahkan adakalanya orang terancam dihukum mati jika ketahuan memeluk agama Kristen. Pada masa pemerintahan Kaisar Diocletianus, aniaya terhadap umat Kristen mencapai puncaknya. Kendati demikian, agama Kristen akhirnya menjadi agama yang didukung secara resmi oleh negara pada masa pemerintahan kaisar pengganti Diocletianus, Constantinus I, dengan diterbitkannya Maklumat Milan tahun 313, dan tak lama kemudian sudah menjadi agama mayoritas. Keberadaan semua agama selain Kristen di wilayah Kekaisaran Romawi diharamkan pada tahun 391 M oleh Kaisar Theodosius I.[218]

Berakhirnya zaman republik

Seusai mengalahkan Makedonia dan Kekaisaran Wangsa Seleukos pada abad ke-2 SM, orang Romawi menjadi bangsa yang paling unggul di Laut Tengah.[40][41] Penaklukan kerajaan-kerajaan Helenistik ini kian mendekatkan budaya Romawi dengan budaya Yunani, sehingga membuat para petinggi Romawi meninggalkan peri kehidupan khas orang desa, lalu mulai bergaya hidup mewah dan berperilaku layaknya warga kota besar. Dari sudut pandang militer, Roma kala itu adalah sebuah kekaisaran yang padu, dan tidak punya musuh besar.

Dominasi asing menimbulkan pertikaian di dalam negeri. Para senator menggelembungkan pundi-pundi pribadi dengan mengisap kekayaan provinsi-provinsi jajahan. Para prajurit, yang kebanyakan adalah petani-petani kecil, harus menjalani masa bakti yang lebih lama di luar negeri sehingga ladang-ladang mereka terbengkalai. Meningkatnya ketergantungan terhadap tenaga budak belian dan pertambahan jumlah latifundium mempersempit peluang kerja bagi tenaga kerja upahan.[42][43]

Pendapatan negara dari jarah, merkantilisme di provinsi-provinsi baru, dan sistem ijon menciptakan peluang-peluang ekonomi baru bagi para hartawan, sehingga muncullah suatu golongan baru dalam masyarakat, yakni kalangan saudagar yang disebut Eques (kesatria).[44] Lex Claudia (Undang-Undang Claudius) melarang anggota-anggota senatus untuk berkiprah di bidang perniagaan, sehingga kendati kaum Eques secara teori boleh menjadi anggota senatus, kiprah mereka di bidang politik sangat dibatasi.[44][45] Senatus tak henti-hentinya berbantah-bantahan, berulang kali menghalangi usaha-usaha reformasi agraria yang penting, dan menolak memberi peluang yang lebih besar bagi kaum Eques untuk urun rembuk dalam urusan pemerintahan.

Gerombolan-gerombolan warga kota pengangguran, yang dikendalikan oleh senator-senator yang saling bersaing, mengintimidasi para pemilih dengan kekerasan. Keadaan semacam ini mencapai puncaknya pada akhir abad ke-2 SM, manakala Gracchus bersaudara, dua orang tribun adik-beradik, memperjuangkan pengesahan dan penerapan undang-undang reformasi pertahanan, yang mengatur tentang pembagi-bagian kembali tanah-tanah milik kaum Patricius kepada kaum Plebs. Gracchus bersaudara tewas dibunuh orang, dan senatus meloloskan rancangan undang-undang baru yang mementahkan kembali semua jerih payah Gracchus bersaudara.[46] Peristiwa ini menimbulkan keretakan hubungan yang terus melebar di antara kaum Plebs (kubu populares) dan kaum Eques (kubu optimates).

Olah raga dan hiburan

Ada bermacam-macam kegiatan olahraga bagi kawula muda kota Roma, antara lain olahraga lompat, gulat, tinju, dan balap.[233] Di daerah-daerah pedesaan, orang-orang kaya mengisi waktu senggang dengan kegiatan memancing dan berburu.[234] Bangsa Romawi juga mengenal sejumlah olahraga permainan yang menggunakan bola, antara lain permainan yang mirip dengan olahraga bola tangan Zaman Modern.[233] Permainan-permainan yang menggunakan dadu dan papan, serta berjudi merupakan kegiatan-kegiatan yang digemari orang sebagai pengisi waktu senggang.[233] Kaum perempuan tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan semacam ini. Bagi para hartawan, pesta-pesta perjamuan merupakan kesempatan untuk menghibur diri. Pesta-pesta semacam ini adakalanya diiringi musik, tari-tarian, dan pembacaan syair.[225] Rakyat jelata kadang-kadang menikmati pesta-pesta serupa yang diselenggarakan oleh perkumpulan-perkumpulan atau serikat-serikat mereka, tetapi bagi sebagian besar masyarakat Romawi Kuno, perjamuan hiburan biasanya berarti acara kumpul-kumpul di kedai-kedai minum yang diselenggarakan oleh atasan atau induk semang mereka.[225] Kanak-kanak Romawi Kuno menghibur diri dengan mainan-mainan serta dolanan-dolanan semisal lompat kangkang melewati punggung teman.[225][234]

Penyandang dana penyelenggaraan lomba-lomba untuk tontonan umum adalah tokoh-tokoh masyarakat yang ingin pamer kebaikan dengan harapan dapat menuai dukungan masyarakat. Pada zaman kekaisaran, penyandang dana lazimnya adalah kaisar. Sejumlah ajang dibangun khusus untuk dijadikan tempat penyelenggaraan lomba-lomba yang ditonton masyarakat umum. Koloseum dibangun pada zaman kekaisaran sebagai tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan, antara lain laga gladiator. Pertunjukan adu ketangkasan ini bermula sebagai bagian dari upacara pemakaman sekitar abad ke-4 SM, dan menjadi tontonan kegemaran khalayak ramai pada penghujung zaman republik sampai pada zaman kekaisaran. Para gladiator, yang diperlengkapi aneka bentuk senjata dan zirah, adakalanya bertarung sampai mati, tetapi sering kali hanya sampai dinyatakan menang, tergantung pada keputusan wasit, yang lazimnya menuruti keinginan penonton. Pertunjukan-pertunjukan satwa eksotis juga merupakan sebuah tontonan populer tersendiri, tetapi adakalanya satwa diadu dengan orang, baik petarung profesional yang diperlengkapi senjata maupun terpidana mati tanpa senjata. Sejumlah pertunjukan adu satwa dengan manusia didasarkan pada kisah-kisah dalam mitologi Romawi atau Yunani.

Lomba balap kereta digilai seluruh lapisan masyarakat. Di Roma, lomba-lomba ini lazimnya digelar di Circus Maximus (Gelanggang Akbar), yang memang khusus dibangun sebagai tempat menggelar lomba balap kereta dan pacuan kuda. Sebagai bangunan publik terbesar di kota Roma, Circus Maximus juga digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pesta-pesta rakyat dan pertunjukan-pertunjukan ketangkasan satwa.[235] Circus Maximus mampu menampung sekitar 150.000 penonton.[236] Para pembalap bertanding secara beregu, dan tiap-tiap regu pembalap memakai warna tertentu sebagai ciri khasnya. Di tengah-tengah gelanggang, membujur alang pembatas (spina) yang melandasi tugu-tugu, kuil-kuil, patung-patung, dan alat hitung putaran balap. Jajaran tempat duduk terbaik berada tepat di pinggir jalur pacuan, dan menjadi jatah para senator. Jajaran tempat duduk di belakang para senator adalah jatah kaum eques (kesatria), sementara kaum plebs (rakyat jelata) dan warga asing menempati jajaran tempat duduk selebihnya di belakang kaum eques. Penyandang dana penyelenggaraan lomba balap duduk di panggung tinggi bersama jajaran arca dewa-dewi, sehingga dapat dilihat semua orang. Penonton mempertaruhkan banyak uang dalam judi balap. Ada yang berdoa dan mempersembahkan sesaji kepada dewa-dewi demi kemenangan pembalap jagoannya, ada yang sengaja mengguna-gunai regu lawan agar kalah, dan ada pula penggila-penggila lomba balap yang bergabung membentuk kelompok-kelompok pendukung setia, biang keladi tawuran antarpenonton.

Peradaban Romawi Kuno patut berbangga atas prestasi-prestasi mereka yang mengagumkan di bidang teknologi. Teknologi Romawi Kuno sudah mengalami banyak kemajuan, tetapi terlupakan pada Abad Pertengahan, dan baru ditemukan kembali pada abad ke-19 dan abad ke-20. Salah satu contohnya adalah teknologi kaca isolasi, yang baru ditemukan kembali pada era 1930-an. Banyak inovasi praktis bangsa Romawi yang diadopsi dari rancangan-rancangan terdahulu bangsa Yunani. Kemajuan teknologi bangsa Romawi sering kali terbagi-bagi menurut bidang usaha. Para usahawan menyembunyikan rapat-rapat teknologi-teknologi mereka layaknya rahasia dagang.[237]

Ilmu teknik sipil dan teknik militer Romawi Kuno adalah warisan kedigdayaan teknologi bangsa Romawi, yang telah menghasilkan ratusan jalan raya, jembatan, akuaduk, rumah pemandian, gedung pertunjukan, dan gelanggang pada masa jayanya. Banyak bangunan raksasa, semisal Koloseum, Pont du Gard, dan Pantheum, masih tegak sampai sekarang sebagai bukti nyata betapa majunya ilmu teknik dan kebudayaan bangsa Romawi.

Bangsa Romawi terkenal dengan arsitekturnya, yang disekelompokkan dengan arsitektur Yunani Kuno menjadi "arsitektur klasik". Kendati arsitekrut banyak perbedaan dengan arsitektur Yunani Kuno, arsitektur Romawi banyak sekali menyerap kaidah-kaidah baku Yunani dalam rancangan dan proporsi bangunan. Selain dua kaidah tiang bangunan, yakni kaidah gabungan dan kaidah Toskana, serta kaidah pembuatan kubah, yang diturunkan dari pelengkung Etruski, inovasi bangsa Romawi dalam bidang arsitektur relatif sedikit sampai dengan berakhirnya zaman republik.

Pada abad pertama pra-Masehi, bangsa Romawi mulai banyak memanfaatkan beton dalam pengerjaan bangunan. Adonan perekat berbahan dasar pozolana yang direka cipta pada akhir abad ke-3 SM ini pun segera menggeser kedudukan pualam sebagai bahan bangunan utama bangsa Romawi, dan memungkinkan pengerjaan berbagai macam rancangan arsitektur yang terkesan berani.[238] Pada abad pertama pra-Masehi, Vitruvius menulis De Architectura (Perihal Wastuwidya), yang mungkin sekali merupakan karya tulis lengkap pertama mengenai arsitektur dalam sejarah. Menjelang akhir abad pertama pra-Masehi, bangsa Romawi juga mulai menerapkan teknik tiup kaca, tak lama sesudah teknik ini diciptakan di Suriah sekitar tahun 50 SM. Mosaik-mosaik membanjiri Kekaisaran Romawi sesudah karya-karya seni mosaik Yunani Kuno ditemukan kembali semasa aksi militer Lucius Cornelius Sulla di Yunani.

Dengan landasan yang kukuh dan pengatusan yang baik,[239] jalan-jalan raya Romawi dikenal tahan lama, bahkan banyak bagian dari jaringan jalan raya Romawi yang masih digunakan orang seribu tahun sesudah Roma tumbang. Pembangunan jaringan perhubungan darat yang luas, lancar, dan menjangkau seluruh wilayah kekaisaran secara dramatis meningkatkan ketahanan dan pengaruh Roma. Jaringan perhubungan darat ini mempercepat pergerakan legiun-legiun Romawi bilamana dikerahkan ke lokasi tertentu, bahkan waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lain pada musim apa pun dapat diperkirakan dengan jitu.[240] Jaringan jalan-jalan raya juga memiliki andil penting dalam perekonomian, karena mengukuhkan peran Roma sebagai salah satu titik persimpangan jalur-jalur niaga, yang menjadi cikal bakal dari peribahasa "semua jalan menuju ke Roma". Pemerintah Romawi memantau dan merawat stasiun-stasiun perhentian yang disebut cursus publicus. Stasiun-stasiun ini dibangun dengan jarak yang teratur dari stasiun ke stasiun di sepanjang jalan-jalan raya, dan dimanfaatkan sebagai tempat istirahat para kurir. Pemerintah Romawi juga menciptakan sistem ganti kuda di tiap stasiun sehingga kurir dapat menempuh jarak sampai dengan 80 km (50 mil) dalam sehari.

Bangsa Romawi membangun banyak akuaduk untuk menyalurkan air bersih ke kota-kota serta lokasi-lokasi industri, dan sebagai prasarana penunjang usaha pertanian mereka. Pada abad ke-3 M, air bersih untuk kota Roma dipasok oleh 11 akuaduk, rata-rata panjangnya mencapai 450 km (280 mil). Kebanyakan akuaduk dibina di bawah permukaan tanah. Hanya sebagian kecil yang berada di atas permukaan tanah, ditopang barisan tiang berpelengkung.[241][242] Adakalanya, jika kedalaman lembah yang harus dilewati akuaduk melebihi 500 m (1.640 kaki), konstruksi pipa pindah terbalik digunakan untuk mengalirkan air melintasi lembah.[48]

Urusan sanitasi juga sudah sangat maju. Bangsa Romawi terkenal dengan rumah-rumah pemandiannya (therma), yang dimanfaatkan sebagai tempat membersihkan diri maupun ajang pergaulan. Banyak rumah orang Romawi diperlengkapi dengan jamban guyur, jaringan pipa leding dalam ruangan, dan jaringan selokan. Cloaca Maxima adalah gorong-gorong utama pembuangan air genangan rawa-rawa dan limbah rumah tangga ke Sungai Tiber.

Beberapa sejarawan memperkirakan bahwa pipa-pipa timbal yang digunakan dalam jaringan selokan maupun saluran air bersih mengakibatkan keracunan timbal, biang keladi penurunan angka kelahiran dan kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya, yang berbuntut pada tumbangnya Roma. Kendati demikian, kandungan timbal dalam air mungkin sekali sangat sedikit karena aliran air dari akuaduk-akuaduk tidak dibendung. Air mengucur tanpa henti lewat pancuran-pancuran di tempat umum maupun rumah-rumah pribadi kemudian mengalir ke selokan. Hanya segelintir orang yang menggunakan keran air kala itu.[243] Penulis-penulis lain juga telah mengutarakan keberatan mereka atas teori ini, seraya menunjukkan bahwa pipa-pipa air Romawi dilapisi endapan tebal yang tentunya mencegah timbal mencemari air.[244]

Romawi Kuno adalah cikal bakal peradaban Dunia Barat.[246][247][248] Adat istiadat, agama, hukum, teknologi, arsitektur, tata negara, militer, kesusastraan, bahasa, aksara, tata pemerintahan, dan berbagai unsur peradaban Dunia Barat lainnya adalah warisan peninggalan bangsa Romawi. Penemuan kembali kebudayaan bangsa Romawi memberi gairah baru bagi peradaban Dunia Barat lewat andilnya yang besar dalam gerakan Renaisans dan Abad Pencerahan.[249][250]

Meskipun ada bermacam-macam karya tulis mengenai sejarah Romawi Kuno, banyak diantaranya yang sudah musnah, sehingga muncul celah-celah kosong dalam sejarah Romawi Kuno, yang ditambal dengan karya-karya tulis kurang andal semisal Historia Augusta dan buku-buku lain yang tidak jelas penulisnya. Kendati demikian, masih ada sejumlah karya tulis tepercaya mengenai sejarah Romawi Kuno yang lestari sampai sekarang.

Para sejarawan perdana menggunakan karya-karya tulis mereka sebagai sarana untuk mengagung-agungkan kebudayaan dan adat istiadat bangsa Romawi. Pada penghujung zaman republik, beberapa sejarawan bahkan sengaja memutarbalikkan sejarah demi menyanjung induk semang mereka, khususnya semasa perseteruan Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla.[251] Gaius Iulius Caesar sendiri menghasilkan karya-karya tulis sejarah guna memastikan seluruh aksi militer yang dipimpinnya di Galia dan semasa perang saudara tercatat selengkapnya-lengkapnya.

Di Kekaisaran Romawi, berkembang penulisan biografi tokoh-tokoh ternama dan kaisar-kaisar perdana, misalnya De Vita Caesarum karangan Suetonius, dan Vitae Parallelae karangan Plutarkos. Pustaka penting lainnya dari zaman kekaisaran adalah karya-karya tulis Livius dan Tacitus.

Templat:Sejarah Italia Minat mengkaji, bahkan mengidealisasi, peradaban Romawi Kuno mengemuka pada masa Renaisans Italia, bahkan berlanjut sampai sekarang. Charles Montesquieu menulis Considérations sur les causes de la grandeur des Romains et de leur décadence (Pendalaman Sebab Musabab Kebesaran Bangsa Romawi dan Kemerosotannya). Karya tulis penting pertama mengenai Romawi Kuno adalah The History of the Decline and Fall of the Roman Empire karangan Edward Gibbon, yang mengkaji peradaban bangsa Romawi mulai dari penghujung abad ke-2 sampai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Timur pada tahun 1453.[252] Sama seperti Charles Montesquieu, Edward Gibbon menyanjung-nyanjung kebajikan bangsa Romawi. Barthold Georg Niebuhr, salah seorang pemrakarsa kajian sejarah Romawi Kuno, menulis Römische Geschichte (Sejarah Bangsa Romawi), yang merunut kurun waktu sejarah bangsa Romawi sampai dengan Perang Punik I. Barthold Georg Niebuhr berusaha memperkirakan cara tradisi bangsa Romawi tumbuh dan berkembang. Menurutnya, bangsa Romawi, sama seperti bangsa-bangsa lain, memiliki suatu etos bersejarah yang diwariskan turun-temurun, teristimewa di kalangan ningrat.

Pada Zaman Napoleon, muncul sebuah karya tulis berjudul Histoire des Romains depuis les temps les plus reculés jusqu'à la mort de Théodose (Sejarah Bangsa Romawi Mulai Dari Masa-Masa Terdahulu Sampai Dengan Kemangkatan Theodosius) karangan Victor Duruy. Karya tulis ini menonjolkan Zaman Caesar yang digemari sidang pembaca kala itu. Römische Geschichte (Sejarah Bangsa Romawi), Römisches Staatsrecht (Undang-Undang Romawi) , dan Corpus Inscriptionum Latinarum (Khasanah Prasasti Latin) adalah karya-karya tulis Theodor Mommsen[253] yang merupakan tonggak-tonggak sejarah penting. Di kemudian hari, terbit pula karya tulis Guglielmo Ferrero yang berjudul Grandezza e decadenza di Roma (Kebesaran dan Kemerosotan Roma). Buku terbitan Rusia, Очерки по истории римского землевладения, преимущественно в эпоху Империи (Ocerki po istorii rimskogo zemlevladenia, preimusycestvenno v epoku Imperii, Garis-Garis Besar Sejarah Kepemilikan Tanah Bangsa Romawi, Khususnya Pada Zaman Kekaisaran), karangan Ivan Grevs, memuat informasi mengenai tata kelola usaha Pomponius Atticus, salah seorang pemilik tanah terluas pada akhir zaman republik.

Zaman kekaisaran - pemerintahan para princeps

Pada tahun 27 SM, saat berumur 36 tahun, Octavianus adalah satu-satunya pemimpin bangsa Romawi. Pada tahun yang sama, ia menamakan dirinya Augustus (Yang Mulia). Peristiwa ini lazim dijadikan para sejarawan sebagai tonggak sejarah berdirinya Kekaisaran Romawi, kendati Roma sudah menjadi semacam "kekaisaran" semenjak tahun 146 SM, ketika Kartago dihancurleburkan oleh Scipio Aemilianus, dan Yunani ditaklukkan oleh Lucius Mummius. Secara resmi, pemerintahannya masih berbentuk republik, tetapi Augustus berkuasa mutlak.[59][60] Kebijakan Augustus untuk memperbaharui pemerintahan menghasilkan kurun waktu sejahtera sepanjang kira-kira dua abad yang disebut Pax Romana oleh orang-orang Romawi.

Wangsa Iulia-Claudia (bahasa Latin: Domus Iulio-Claudia) dibentuk oleh Augustus. Kaisar-kaisar dari wangsa ini adalah Augustus, Tiberius, Caligula, Claudius, dan Nero. Nama wangsa ini adalah gabungan dari gens Iulia, nama keluarga Augustus, dan gens Claudia, nama keluarga Tiberius. Di satu pihak, kaisar-kaisar wangsa inilah yang mula-mula meruntuhkan nilai-nilai luhur Republik Romawi, tetapi di lain pihak, merekalah jugalah yang mengangkat derajat Roma menjadi sebuah negara adidaya di pentas dunia.[61] Dalam budaya populer, Caligula dan Nero memang lazim dikenang sebagai kaisar-kaisar yang bobrok, tetapi Augustus dan Claudius dikenang sebagai kaisar-kaisar yang berjaya di bidang politik dan kemiliteran. Wangsa ini melembagakan tradisi kekaisaran di Roma,[62] dan menghalang-halangi segala macam usaha untuk memulihkan pemerintahan republik.[63]

Augustus memonopoli seluruh kewenangan pemerintah republik dengan gelar resminya, princeps (ketua). Ia memegang kewenangan consul (kepala pemerintahan), princeps senatus (ketua majelis sesepuh), aedilis (pejabat urusan rumah ibadat dan hari besar keagamaan), censor (pejabat urusan cacah jiwa dan pemantauan akhlak masyarakat), dan tribunus (pemuka suku), termasuk hak kekeramatan tribunus.[64] Monopoli kewenangan inilah yang menjadi asas kewenangan seorang kaisar. Augustus juga menggelari dirinya Imperator Gaius Iulius Caesar Divi Filius, yang berarti "Sang Pemberi Titah, Gaius Iulius Caesar, Putra Dewata". Dengan gelar ini, Augustus tidak saja memamerkan hubungan kekerabatannya dengan mendiang Gaius Iulius Caesar yang telah dimasyhurkan sebagai dewata, tetapi juga menonjolkan suatu keterkaitan permanen dengan tradisi kejayaan Romawi melalui pemakaian istilah imperator.

Augustus juga membatasi pengaruh golongan senatus di kancah politik dengan memberi ruang yang lebih besar bagi kaum eques. Para senator juga kehilangan hak untuk mengatur provinsi-provinsi tertentu, semisal Mesir, karena wali negerinya ditunjuk langsung oleh kaisar. Keputusannya membentuk laskar Praetoriani dan memperbaharui tatanan kemiliteran menghasilkan sebuah angkatan bersenjata berkekuatan tetap 28 legiun, sehingga segenap angkatan bersenjata Romawi dapat ia kendalikan seorang diri.[65] Jika dibandingkan dengan zaman rezim Triumviratus II, masa pemerintahan Augustus selaku princeps sangat tenteram. Keadaan aman dan makmur, yang dijamin penguasaan Roma atas Mesir, sebuah provinsi agraris,[66] mendorong rakyat dan kaum ningrat Roma untuk mendukung Augustus memperbesar kewenangannya dalam urusan politik.[67] Dalam kegiatan militer, Augustus tidak ikut serta dalam pertempuran-pertempuran. Para senapatilah yang bertanggung jawab memimpin bala tentara di medan tempur, sehingga muncul tokoh-tokoh perwira yang disegani masyarakat maupun legiun-legiun, misalnya Marcus Vipsanius Agrippa, Nero Claudius Drusus, dan Germanicus Iulius Caesar. Augustus berniat menjadikan seluruh dunia, yang sudah dikenal orang kala itu, sebagai bagian dari wilayah Kekaisaran Romawi, dan pada masa pemerintahannya, Roma menaklukkan Cantabria, Aquitania, Raetia, Dalmatia, Illyria, dan Pannonia.[68]

Pada masa pemerintahan Augustus, kesusastraan Romawi terus berkembang, sehingga zaman ini disebut pula Abad Keemasan kesusastraan Latin. Para penyair seperti Vergilius, Horatius, Ovidius, dan Rufus menghasilkan karya-karya sastra yang bernas, dan bersahabat karib dengan Augustus. Bersama Gaius Cilnius Maecenas , Augustus mendorong penggubahan syair-syair kepahlawanan, semisal syair wiracarita Aeneis gubahan Vergilius, dan penyusunan karya-karya tulis sejarah, semisal Ab Urbe Condita Libri karya Livius. Karya-karya tulis dari Abad Keemasan kesusastraan ini bertahan sepanjang zaman Kekaisaran Romawi, dan dihargai sebagai karya-karya klasik. Augustus juga meneruskan usaha peralihan ke penanggalan baru yang dirintis oleh mendiang Gaius Iulius Caesar, dan salah satu bulan dalam penanggalan baru ini ia beri nama Augustus (bulan Agustus).[69] Augustus menghantarkan Roma memasuki kurun waktu damai dan sejahtera, yang dikenal dengan sebutan Pax Augusta atau Pax Romana. Augustus wafat pada tahun 14 M, tetapi kejayaan kekaisaran tetap bertahan sepeninggalnya.

Wangsa Iulia-Claudia tetap menguasai tampuk pemerintahan Roma sepeninggal Augustus, dan terus berkuasa sampai dengan wafatnya Nero pada tahun 68 M.[70] Semua anak emas Augustus yang ia gadang-gadangkan menjadi penggantinya sudah lebih dahulu wafat pada masa tua Augustus, yakni kemenakannya, Marcellus, yang wafat pada tahun 23 SM, perwira sahabatnya, Agrippa, yang wafat pada tahun 12 SM, dan cucunya, Gaius Caesar, yang wafat pada tahun 4 M. Atas bujukan istrinya, Livia Drusilla, Augustus menetapkan anak tirinya, Tiberius, anak Livia Dusilla dari suami terdahulu, menjadi ahli warisnya.[71]

Senatus menyetujui keputusan Augustus, dan melimpahi Tiberius dengan gelar-gelar dan kehormatan-kehormatan yang pernah mereka berikan kepada Augustus, yakni gelar princeps dan pater patriae (Bapa Tanah Air), serta corona civica (mahkota warga berjasa). Kendati demikian, Tiberius bukanlah seorang pemerhati urusan politik. Sesudah bermufakat dengan senatus, ia berlibur panjang ke pulau Capri pada tahun 26 M,[72] dan membebankan urusan pemerintahan kota Roma ke pundak para Praefectus Praetorio (hulubalang Praetoriani), yakni Seianus (sampai tahun 31 M) dan Macro (dari tahun 31 sampai tahun 37 M). Tiberius dipandang sebagai seorang durjana pemurung, dan dicurigai sebagai dalang pembunuhan kerabatnya yang dicintai rakyat, Senapati Germanicus pada tahun 19 M,[73] serta anak kandungnya sendiri, Drusus Iulius Caesar pada tahun 23 M.[73]

Tiberius wafat (atau tewas dibunuh)[73] pada tahun 37 M. Ahli waris laki-laki wangsa Iulia-Claudia kala itu adalah Claudius (kemenakan Tiberius), Tiberius Gemellus (cucu Tiberius), dan Caligula (anak dari kemenakan Tiberius). Karena Tiberius Gemellus masih kanak-kanak, Caligula pun terpilih menjadi kepala negara yang baru. Ia adalah penguasa yang dicintai rakyat selama paruh pertama masa pemerintahannya, tetapi berubah menjadi tiran yang kasar dan sinting saat menguasai pemerintahan.[74][75] Menurut sejarawan Suetonius, Caligula melakukan hubungan sedarah dengan saudari-saudari kandungnya, membunuh sejumlah orang hanya untuk bersenang-senang, dan mengangkat seekor kuda menjadi consul.[76] Laskar Praetoriani membunuh Caligula empat tahun sesudah Tiberius wafat,[77] dan dengan dukungan para senator, mereka mengelu-elukan paman Caligula, Claudius, sebagai kaisar yang baru.[78] Claudius bukanlah penguasa yang sewenang-wenang seperti Tiberius dan Caligula. Ia menaklukkan Likia dan Trake. Tindakannya yang paling penting adalah merintis usaha penaklukan Britania.[79] Claudius tewas diracun istrinya, Agrippina Muda pada tahun 54 M.[80] Ahli waris Claudius adalah anak tirinya, Nero, putra Agrippina Muda dari suami terdahulu, karena anak kandung Claudius, Britannicus, belum cukup umur saat ditinggal mati ayahnya.

Nero memerintahkan Senapati Suetonius Paulinus untuk menginvasi daerah yang kini menjadi wilayah Wales. Invasi bangsa Romawi disambut bangsa pribumi dengan perlawanan gigih. Orang Kelt yang mendiami daerah itu adalah suku bangsa yang mandiri, tangguh, berani mengusir pemungut cukai Romawi, dan nekat memerangi Suetonius Paulinus saat menerobos dari timur ke barat. Ia harus berjuang dalam waktu yang lama sebelum berhasil mencapai daerah pesisir barat laut, dan pada tahun 60 M, ia akhirnya berlayar menyeberangi Selat Menai menuju pulau keramat Mona (sekarang Anglesey), benteng terakhir kaum druid.[81][82] Bala tentara Romawi menyerbu Pulau Mona, membantai kaum druid, penduduk lelaki, perempuan, maupun kanak-kanak,[83] menghancurkan tempat-tempat suci dan hutan-hutan larangan, serta membuang banyak tugu batu keramat ke laut. Manakala Paulinus dan bala tentaranya membantai kaum Druid di Mona, suku-suku yang berdiam di daerah yang sekarang disebut Anglia Timur bangkit memberontak di bawah pimpinan Boadicca, ratu orang Ikeni.[84] Para pemberontak menjarah dan membumihanguskan Camulodunum (Colchester), Londinium (London), dan Verulamium (St Albans) sebelum akhirnya diberantas Paulinus.[85] Sama seperti Kleopatra, Ratu Boadicca memilih bunuh diri daripada dipermalukan bangsa Romawi dengan cara diarak dalam pawai kemenangan di Roma.[86] Tanggung jawab Nero atas pemberontakan ini masih dapat diperdebatkan, tetapi tetap saja berdampak (positif maupun negatif) pada kewibawaan rezimnya.

Nero sudah umum dikenal sebagai penganiaya utama umat Kristen, dan dikenang karena peristiwa kebakaran besar di kota Roma, yang menurut desas-desus direkayasa sendiri oleh Nero.[87][88] Nero membunuh ibunya pada tahun 59 M, dan membunuh istrinya, Claudia Octavia, pada tahun 62 M. Kaisar yang tidak pernah tetap pendiriannya ini membiarkan para penasihatnya menjalankan pemerintahan, sementara ia sibuk menuruti hawa nafsu, berfoya-foya, dan bertingkah gila-gilaan. Nero kawin sampai tiga kali, dan bermain serong dengan banyak laki-laki maupun perempuan, bahkan konon dengan ibu kandungnya. Aksi makar pada tahun 65 M di bawah pimpinan Calpurnius Piso tidak berhasil menjatuhkan Nero, tetapi pada tahun M, angkatan bersenjata Romawi di bawah pimpinan Julius Vindex di Galia dan Servius Sulpicius Galba di Hispania melakukan pemberontakan. Nero, yang ditinggalkan laskar Praetoriani dan dipidana mati oleh senatus, akhirnya bunuh diri.[89]

Wangsa Flavia adalah wangsa kedua yang menguasai tampuk pemerintahan Roma.[90] Pada tahun 68 M, tahun kemangkatan Nero, belum ada peluang untuk menegakkan kembali pemerintahan Republik Romawi, sehingga seorang kaisar baru harus dipilih untuk mengepalai pemerintahan. Sesudah hingar-bingar Tahun Empat Kaisar berlalu, Titus Flavius Vespasianus mengambil alih tampuk pemerintahan dan membentuk wangsa penguasa yang baru. Pada zaman wangsa Flavia, Roma meneruskan usaha perluasan wilayahnya, dan keamanan negara dapat terus dipertahankan.[91][92]

Aksi militer terpenting pada zaman wangsa Flavia, adalah aksi pengepungan dan penghancuran kota Yerusalem pada tahun 70 oleh Titus Flavius Vespasianus. Penghancuran kota Yerusalem merupakan puncak dari aksi militer Romawi di Yudea menyusul pemberontakan bangsa Yahudi pada tahun 66. Sesudah bangunan Bait Allah kedua dihancurleburkan, bala tentara Titus mengelu-elukannya sebagai imperator untuk menghargai keberhasilan memimpin aksi militer di Yudea. Yerusalem dijarah rayah, dan sebagian besar warganya terbunuh atau mengungsi. Menurut sejarawan Titus Flavius Iosephus, ada 1.100.000 korban tewas akibat aksi pengepungan, sebagian besar di antaranya adalah orang Yahudi.[93] 97.000 orang ditanggap dan dijadikan budak belian, termasuk Simon bar Giora dan Yohanes asal Giskala. Banyak orang mengungsi ke daerah-daerah sekitar Laut Tengah. Titus kabarnya menolak anugerah mahkota kemenangan, dengan alasan "tidak ada hebat-hebatnya menghancurkan bangsa yang sudah ditinggal Tuhannya sendiri".

Vespasianus berpangkat senapati pada masa pemerintahan Claudius dan Nero. Bersama putranya, Titus, ia memimpin bala tentara Romawi dalam Perang Yahudi-Romawi I. Pada Tahun Empat Kaisar yang penuh huru-hara, yakni tahun 69 M, empat orang kaisar silih berganti menduduki singgasana, yakni Galba, Otho, Vitellius, dan akhirnya Vespasianus, yang menghancurkan bala tentara Vitellius dan menjadi kaisar.[94] Ia membangun ulang berbagai bangunan yang tidak kunjung rampung dikerjakan, misalnya sebuah patung dewa Apollo dan kuil Divus Claudius (Dewata Claudius), yang dibangun atas prakarsa Nero. Bangunan-bangunan yang rusak dimakan api dalam peristiwa kebakaran besar di kota Roma dibangun kembali, dan Bukit Capitolium direvitalisasi. Vespasianus juga memprakarsai pembangunan Gelanggang Pertunjukan Flavianus (bahasa Latin: Amphitheatrum Flavium), yang lebih lazim dikenal dengan sebutan "Koloseum" (gedung arca raksasa).[95] Sejarawan Flavius Iosephus dan Plinius Tua berkarya pada masa pemerintahan Vespasianus. Vespasianus adalah penyandang dana Flavius Iosephus, dan Plinius Tua mendedikasikan karya tulisnya yang berjudul Naturalis Historia kepada Titus, putra Vespasianus. Vespasianus mengerahkan berlegiun-legiun prajurit Romawi untuk mempertahankan tapal batas wilayah timur di Kapadokia, memperpanjang masa pendudukan Romawi di Britania (sekarang Inggris, Wales, dan kawasan selatan Skotlandia) dan memperbaharuai sistem perpajakan. Ia mangkat pada tahun 79 M.

Masa pemerintahan Titus tidak berlangsung lama. Ia menjadi kaisar dari tahun 79 M sampai tahun 81 M. Ia menuntaskan pembangunan Amphitheatrum Flavium, yang didanai dengan hasil jarahan dari Perang Yahudi-Romawi I, dan menggelar berbagai pertunjukan ketangkasan selama seratus hari untuk merayakan kemenangan Romawi atas bangsa Yahudi. Pertunjukan-pertunjukan ini meliputi laga gladiator, lomba balap kereta, dan perang-perangan laut yang sensasional di dalam kolam buatan di Koloseum.[96][97] Titus wafat setelah menderita demam pada tahun 81 M, dan digantikan oleh adiknya, Domitianus. Domitianus memerintah secara totaliter,[98] menganggap dirinya Augustus yang baru, bahkan berusaha agar dirinya disembah-sembah laksana dewa. Domitianus memerintah selama 15 tahun, dan masa pemerintahannya ditandai oleh usaha-usahanya menyamakan diri dengan dewa-dewa. Ia mendirikan paling sedikit dua buah kuil tempat orang menyembah Iuppiter, dewa tertinggi menurut kepercayaan bangsa Romawi. Ia juga senang disebut "Dominus et Deus" (tuan dan dewa).[99]

Wangsa Nerva–Antonina

Zaman wangsa Nerva–Antonina berlangsung mulai tahun 96 M sampai tahun 192 M. Kaisar-kaisar yang memerintah dalam kurun waktu ini adalah Nerva, Traianus, Hadrianus, Antoninus Pius, Marcus Aurelius, Lucius Verus, dan Commodus. Pada kurun waktu inilah Kekaisaran Romawi mencapai puncak kegemilangan dalam hal luas wilayah dan tingkat kemakmurannya.[100] Inilah kurun waktu ketenteraman bagi Roma. Kaisar dipilih karena keunggulan dan kecakapan yang dimilikinya, bukan lagi karena hubungan kekerabatannya dengan kaisar-kaisar terdahulu. Bala tentara Romawi tidak pernah mengalami kekalahan, dan tidak ada perang saudara selama kurun waktu ini. Setelah Domitianus tewas dibunuh, senatus segera menetapkan Nerva menjadi pemangku kemuliaan kekaisaran. Inilah kali pertama senatus memilih kaisar semenjak Octavianus dianugerahi gelar princeps dan Augustus. Nerva berdarah ningrat, dan pernah menjadi penasihat Nero maupun kaisar-kaisar wangsa Flavia. Ia membatalkan banyak keputusan yang mengekang kebebasan dari masa pemerintah Domitianus,[101] dan mempelopori zaman keemasan Roma yang terakhir.

Nerva mangkat pada tahun 98 M, dan digantikan oleh ahli warisnya, Senapati Traianus. Traianus berasal dari keluarga non-patricius di Hispania Betika (sekarang Andalusia), dan mulai menonjol saat menjalani masa baktinya dalam angkatan bersenjata pada masa pemerintahan Domitianus. Ia adalah kaisar yang kedua dari lima kaisar budiman. Kaisar budiman yang pertama adalah Nerva. Sorak-sorai warga Roma yang menyambut gembira penobatannya ia balas dengan pemerintahan yang baik dan tanpa pertumpahan darah seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Domitianus. Ia membebaskan banyak orang yang dipenjarakan dengan sewenang-wenang oleh Domitianus, dan mengembalikan harta kekayaan perseorangan yang pernah disita oleh Domitianus. Kebijakan ini sesungguhnya sudah dimulai oleh Nerva sebelum kemangkatannya.[102]

Traianus menaklukkan Dacia (kurang lebih wilayah Rumania dan Moldova sekarang ini), dan mengalahkan Raja Decebalus, yang pernah mengecundangi bala tentara Kaisar Domitianus. Pada Perang Dacia I (101–102), Dacia kalah dan menjadi negara gundal Romawi. Pada Perang Dacia II (105–106), Traianus menghancurkan seluruh kekuatan pertahanan Dacia, dan menjadikannya bagian dari wilayah Kekaisaran Romawi. Traianus juga menganeksasi negara gundalnya, Nabatea, dan menjadikannya Provinsi Arabia Petrea dalam wilayah Kekaisaran Romawi, yang meliputi kawasan selatan Negeri Syam dan kawasan barat laut Jazirah Arab.[103] Ia mendirikan banyak bangunan yang masih tegak sampai sekarang, misalnya Forum Traiani (alun-alun Traianus), Mercatus Traiani (pasar Trayanus), dan Columna Traiani (tugu Trayanus). Arsitek andalannya adalah Apollodorus Damascenus (Apollodorus asal Damsyik). Apollodoruslah yang merancang Forum Traiani dan Columna Traiani, serta mereka ulang gedung Pantheum (kuil segala dewa-dewi). Gapura peringatan kemenangan Traianus di Ancona dan Beneventum juga adalah hasil rancangannya. Semasa Perang Dacia II, Apollodorus merancang sebuah jembatan besar melintasi Sungai Donau bagi Traianus.[104]

Perang terakhir yang dilancarkan Traianus adalah perang melawan Partia. Kekaisaran Romawi dan Partia berbagi kekuasaan atas Armenia, sehingga langkah Partia mengangkat seorang raja untuk menduduki singgasana Kerajaan Armenia membuat Kekaisaran Romawi tersinggung, dan mendorong Traianus memaklumkan perang. Mungkin sekali Traianus berniat menjadi Kaisar Romawi pertama yang berhasil menaklukkan Partia, dan mengulangi kejayaan Aleksander Agung, sang penakluk Asia.[105] Pada tahun 113, ia memimpin bala tentara Romawi bergerak menuju Armenia guna menggulingkan raja negeri itu. Pa tahun 115, Traianus berbalik ke selatan menuju jantung peradaban Partia, merebut kota Nisibis dan Batnæ di kawasan utara Mesopotamia, mendirikan Provinsi Mesopotamia pada tahun 116, dan mencetak uang-uang logam sebagai pernyataan kedaulatan bangsa Romawi atas Armenia dan Mesopotamia.[106] Pada tahun yang sama, ia merebut Seleukia Tepi Tigris dan Ktesifon (dekat kota Bagdad sekarang ini), ibu kota Partia.[107] Sesudah memadamkan pemberontakan bangsa Partia dan pemberontakan bangsa Yahudi, Trainanus terpaksa beristirahat karena kesehatannya terganggu. Pada tahun 117, sakitnya bertambah parah, dan ia akhirnya wafat akibat sembap. Ia menetapkan Hadrianus menjadi ahli warisnya. Di bawah kepemimpinan Traianus, luas wilayah kedaulatan Kekaisaran Romawi mencapai puncaknya, yakni 2.500.000 mil persegi (6.474.970 kilometer persegi).[108]

Banyak orang Romawi bermigrasi ke Hispania (Spanyol dan Portugal sekarang ini), turun-temurun menetap di negeri itu, dan adakalanya berkawin campur dengan orang Iberia. Kaisar Hadrianus berasal dari salah satu keluarga Romawi semacam ini.[109] Hadrianus menarik mundur seluruh pasukan yang ditempatkan di Partia dan Mesopotamia (Irak sekarang ini), dan mengabaikan hasil aksi-aksi penaklukan Traianus begitu saja. Hadrianus mengerahkan bala tentara Romawi untuk memadamkan pemberontakan rakyat di Mauritania dan pemberontakan Bar Kohba di Yudea. Pemberontakan Bar Kohba adalah pemberontakan terbesar bangsa Yahudi melawan Romawi. Pemberontakan ini dapat dipadamkan dengan tindak kekerasan yang merenggut korban jiwa ratusan ribu orang Yahudi. Hadrianus mengganti nama provinsi Yudea menjadi Provincia Syria Palaestina, meniru nama salah satu musuh bebuyutan Yudea.[110] Ia membangun benteng-benteng dan tembok-tembok pertahanan, misalnya Tembok Hadrianus yang memisahkan wilayah Britania jajahan Romawi dari wilayah orang barbar di Skotlandia sekarang ini. Hadrianus, terkenal sebagai seorang pecinta kebudayaan Yunani. Ia mendukung kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan seni budaya, teristimewa seni budaya Yunani. Ia juga mengharamkan tindak penyiksaan dan mengubah hukum-hukum menjadi lebih manusiawi. Hadrianus membangun banyak akuaduk, rumah pemandian, perpustakaan, dan gedung pertunjukan. Selain itu, ia melakukan perjalanan keliling ke hampir setiap provinsi dalam wilayah kekaisaran guna memeriksa keadaan militer dan prasarana.[111] Sepeninggal Hadrianus pada tahun 138 M, penggantinya, Kaisar Antoninus Pius, membangun kuil-kuil, gedung-gedung pertunjukan, dan gedung-gedung makam, mendukung kegiatan-kegiatan seni budaya dan ilmu pengetahuan, serta menganugerahkan tanda jasa maupun dana kepada guru-guru retorika dan filsafat. Antoninus Pius hanya melakukan sedikit perubahan tatkala menjadi kaisar, dan sedapat mungkin mempertahankan kebijakan-kebijakan Hadrianus. Antoninus Pius memperluas wilayah Britania jajahan Romawi dengan menginvasi daerah yang kini menjadi kawasan selatan Skotlandia, dan membangun Tembok Antoninus.[112] Ia juga melnajutkan kebijakan Hadrianus untuk mengubah hukum-hukum menjadi lebih manusiawi. Kaisar Antoninus Pius mangkat pada tahun 161 M.

Marcus Aurelius, yang termasyhur sebagai seorang filsuf, adalah yang terakhir dari Lima Kaisar Budiman. Ia adalah seorang filsuf stoa, dan wrote the Meditationes (renungan-renungan). Ia mengalahkan suku-suku Barbar dalam Perang Markomani maupun Kekaisaran Partia.[113] Rekannya sesama Kaisar Romawi, Lucius Verus, mangkat pada tahun 169 M, mungkin sekali akibat terjangkit wabah Antoninus, sejenis penyakit menular yang menewaskan hampir lima juta jiwa penduduk kekaisaran antara tahun 165 sampai tahun 180 M.[114]

Sejak masa pemerintahan Nerva sampai dengan masa pemerintahan Marcus Aurelius, Kekaisaran Romawi mengenyam kebahagiaan dan kemuliaan pada taraf yang belum pernah tercapai sebelumnya. Kuatnya pengaruh hukum dan tata krama sedikit demi sedikit mengeratkan persatuan antarprovinsi. Seluruh warga negara turut menikmati dampak dari kesejahteraan negara. Citra undang-undang dasar sebagai penjamin kebebasan tetap dijaga dan dihormati. Senatus tampak memegang kedaulatan tertinggi, dan melimpahkan seluruh kewenangan eksekutif pemerintah kepada kaisar.[butuh klarifikasi] Masa pemerintahan Lima Kaisar Budiman dipandang sebagai zaman keemasan Kekaisaran Romawi.[115]

Commodus, putra Marcus Aurelius, naik takhta sepeninggal ayahnya. Ia tidak terhitung sebagai salah seorang "kaisar budiman", pertama-tama karena adanya ikatan kekerabatan langsung antara dirinya dan Marcus Aurelius, selain itu juga karena ia dinilai pasif dibanding kaisar-kaisar pendahulunya, yang acap kali turun langsung ke medan laga memimpin bala tentara. Commodus biasa bertarung dalam pertunjukan-pertunjukan laga gladiator, yang acapkali mempertontonkan kebengisan dan kebiadaban. Ia membunuh banyak warga negara, dan masa pemerintahannya menjadi awal dari dekadensi Kekaisaran Romawi, sebagaimana yang diungkapkan oleh sejarawan Cassius Dio, "sejarah kita kini merosot, dari kerajaan emas menjadi kerajaan besi dan karat."[116]

Commodus mangkat dibunuh komplotan yang melibatkan Quintus Aemilius Laetus dan istrinya, Marcia, menjelang akhir tahun 192 M. Tahun berikutnya dikenal sebagai Tahun Lima Kaisar. Helvius Pertinax, Didius Iulianus, Pescennius Niger, Clodius Albinus, dan Septimius Severus berturut-turut naik takhta dalam tahun yang sama. Helvius Pertinax, salah seorang anggota senatus yang pernah menjadi tangan kanan Marcus Aurelius, adalah orang pilihan Quintus Aemilius Laetus. Ia memerintah dengan tegas dan adil, sampai-sampai membuat Quintus Aemilius Laetus iri hati dan merancang pembunuhan terhadap dirinya oleh laskar Praetoriani. Laskar Praetoriani selanjutnya melelang jabatan kaisar dan menyerahkannya kepada si pemenang lelang, Didius Julianus, yang bersedia membayar mereka sebanyak 25.000 keping sestertius per kepala.[117] Warga Roma berulang kali memohon legiun-legiun penjaga tapal batas untuk datang menyelamatkan mereka. Legiun-legiun dari 3 provinsi perbatasan, yakni Britania, Panonia Hulu, dan Suriah, yang kala itu sedang kecewa karena tidak kebagian donativum, menanggapi permohonan warga Roma dengan mengangkat senapati masing-masing menjadi kaisar baru. Lucius Septimius Severus Geta, senapati legiun Panonia Hulu, menyuap pasukan-pasukan penentang, menganugerahkan pengampunan kepada laskar Praetoriani, dan naik takhta menjadi kaisar. Ia dan para penggantinya memerintah dengan sokongan legiun-legiun. Perubahan dalam pembuatan uang logam dan belanja militer merupakan biang keladi dari masalah keuangan selama Krisis Abad Ketiga.

Septimius Severus naik takhta sesudah menginvasi Roma dan menewaskan Didius Iulianus. Kedua saingannya, Pescennius Niger dan Clodius Albinus, juga dimasyhurkan sebagai imperator oleh kubu pendukung masing-masing. Septimius Severus segera menundukkan Percennius Niger di Bizantium, dan menjanjikan gelar caesar kepada Clodius Albinus (artinya menjanjikan jabatan kaisar-bersama).[118] Kendati demikian, Septimius Severus mengkhianati Clodius Albinus dengan mendakwanya telah mendalangi usaha untuk membunuhnya. Septimius Severus memimpin bala tentara menuju Galia dan mengalahkan Clodius Albinus. Semua tindakan ini membuat Machiavelli mengibaratkan Septimius Severus sebagai "singa yang buas sekaligus rubah yang cerdik"[119]

Septimius Severus berusaha menghidupkan kembali pemerintahan totaliter. Dalam amanatnya di hadapan rakyat dan senatus, ia memuji-muji ketegasan serta kebengisan Gaius Marius dan Sulla. Amanat ini tak ayal membuat para senator merasa was-was.[120] Ketika Partia menginvasi wilayah Romawi, Septimius Severus pun memaklumkan perang. Ia merebut kota Nisibis, Babel, dan Seleukia Tepi Tigris. Sesampainya di Ktesifon, ibu kota Partia, ia memerintahkan bala tentara Romawi untuk menjarah habis kota itu. Bala tentara Romawi membantai dan menawan banyak warga Ktesifon. Kendati demikian, ia gagal merebut Hatra, sebuah kota yang makmur milik bangsa Arab. Septimius Severus membunuh legatusnya sendiri, hanya karena si legatus disegani legiun-legiun, dan bala tentaranya menderita kelaparan. Seusai aksi militer celaka ini, ia pulang ke Roma.[121] Septimius Severus juga berniat menundukkan seantero Britania. Untuk itu ia memaklumkan perang melawan orang Kaledoni. Sesudah banyak jatuh korban di pihak Romawi akibat medan yang sulit dan serangan-serangan dadakan orang-orang Barbar, Septimius Severus akhirnya turun langsung ke medan laga. Kendati demikian, ia akhirnya jatuh sakit dan mangkat pada tahun 211 AD, tatkala berumur 65 tahun.

Sepeninggal Kaisar Severus, Caracalla dan Geta, putra-putra mendiang, dinobatkan menjadi kaisar. Cekcok antara Caracalla dan Geta membuat warga Roma terbelah menjadi dua kubu. Geta menghembuskan nafas terakhir dalam dekapan ibunya, tewas dibunuh orang suruhan Caracalla. Pembunuhan 20.000 orang pengikut Geta juga mungkin terjadi atas perintah Caracalla. Sama seperti mendiang ayahnya, Caracalla suka berperang. Ia meneruskan kebijakan Severus, dan disegani pasukan-pasukan bala tentara Romawi. Caracalla bersifat kejam, dan dibayang-bayangi rasa bersalah atas pembunuhan adiknya. Ia tega memerintahkan pembunuhan orang-orang dekatnya, semisal Cilo, gurunya, dan Papinianus, salah seorang sahabat mendiang ayahnya.

Ketika tahu bahwa warga kota Aleksandria tidak suka padanya, serta mempergunjingkan sifat buruknya, Caracalla pun mengundang para warga terkemuka Aleksandria ke sebuah acara perjamuan. Seluruh tamu undangan akhirnya tewas dibantai prajurit-prajurit Caracalla. Dari kuil Serapis yang aman terlidung, Caracalla memerintahkan pembantaian warga Aleksandria tanpa pandang bulu.[122][123] Pada tahun 212, ia mengeluarkan Maklumat Caracalla, berisi penganugerahan kewarganegaraan Romawi kepada semua laki-laki merdeka yang berdiam di dalam wilayah kekaisaran, tetapi pada saat yang sama ia juga menaikkan tarif pajak warisan, yang hanya dipungut dari warga negara Romawi, sampai 10 persen. Ramalan seorang tukang tenung bahwa praefectus praetorio, Macrinus, dan putranya akan memerintah kekaisaran, dilaporkan secara tertulis kepada Caracalla, tetapi jatuh ke tangan Macrinus. Sadar bahwa ia harus bertindak jika tidak ingin mati konyol, Macrinus pun merancang pembunuhan Caracalla oleh salah seorang pengawalnya selagi berziarah ke kuil dewi Luna di Haran pada tahun 217 M.

Macrinus, yang tidak cakap memerintah, naik takhta menjadi kaisar yang baru, tetapi bermastautin di Antiokhia, alih-alih di Roma. Masa pemerintahannya yang singkat berakhir pada tahun 218, manakala Bassianus, pendeta kuil dewa matahari di Emesa, konon anak haram Caracalla, dimasyhurkan sebagai kaisar oleh prajurit-prajurit bawahan Macrinus yang merasa kecewa dengannya. Dengan suap, Bassianus berhasil mendapatkan dukungan legiuner-legiuner, dan mengerahkan mereka untuk memerangi Macrinus dan laskar Praetoriani. Bassianus mengganti namanya menjadi Antoninus, tetapi lebih dikenal dalam sejarah dengan nama Elagabalus, nama dewa sesembahannya, yang dilambangkan dengan sebongkah batu hitam besar. Elagabalus tidak cakap memerintah lagi gasang orangnya.[38] Ia dikenal boros dan suka berfoya-foya, sehingga menggusarkan semua orang kecuali anak-anak emasnya. Cassius Dio, Herodianus, dan kitab Historia Augusta, mengabadikan banyak keterangan mengenai sifat borosnya ini. Ia mengadopsi saudara sepupunya, Alexander Severus, memberinya gelar caesar, tetapi kemudian iri padanya, dan berusaha membunuhnya. Laskar Praetoriani, yang lebih memihak Alexander Severus, membunuh Elagabalus, menyeret penggalan-penggalan jenazahnya menyusuri jalan-jalan kota Roma sebelum akhirnya dibuang ke Sungai Tiber. Elagabalus digantikan oleh Alexander Severus, saudara sepupunya. Alexander Severus memerangi banyak musuh, semisal Persia yang sudah pulih seperti sediakala, dan suku-suku Jermanik yang menginvasi Galia. Kekalahan-kekalahannya di medan perang menimbulkan rasa tidak puas di kalangan prajurit. Ia akhirnya tewas dibunuh para prajurit saat sedang memimpin perang melawan suku-suku Jermanik pada tahun 235 M.[124]

Malapetaka besar muncul sepeninggal Alexander Severus. Kekaisaran Romawi didera perang-perang saudara, invasi-invasi dari luar, kekacauan politik, wabah-wabah penyakit, dan kelesuan perekonomian.[38][125] Nilai-nilai warisan leluhur sudah ditinggalkan, dan kepercayaan terhadap dewa Mitra maupun agama Kristen mulai menyebar luas di tengah masyarakat. Kaisar-kaisar pun bukan lagi orang-orang dari kalangan ningrat, melainkan putra-putra rakyat jelata dari pelosok-pelosok wilayah kekaisaran, yang tampil menonjol setelah berjuang meniti karier dalam angkatan bersenjata dan akhirnya meraih tampuk kekuasaan melalui perang saudara.

Dalam kurun waktu 49 tahun saja, sudah 26 kaisar silih berganti menduduki takhta kekaisaran. Keadaan ini menunjukkan betapa goyahnya perpolitikan Kekaisaran Romawi kala itu. Maximinus Thrax adalah orang pertama yang menjadi kaisar dalam kurun waktu ini. Ia hanya mampu berkuasa selama tiga tahun. Kaisar-kaisar lain hanya mampu bertahan selama beberapa bulan saja, misalnya Gordianus I, Gordianus II, Balbinus, dan Hostilianus. Keselamatan rakyat dan tapal batas pun terabaikan, karena kaisar-kaisar lebih mementingkan urusan menjegal saingan dan mengukuhkan kekuasaannya sendiri. Perekonomian mengalami kelesuan selama kurun waktu ini. Pengeluaran besar untuk belanja militer pada zaman wangsa Severana mengakibatkan terjadinya devaluasi uang logam Romawi. Inflasi tak terkendali juga terjadi pada kurun waktu ini. Wabah Siprianus merebak pada tahun 250, dan merenggut nyawa banyak orang.[126] Pada tahun 260 M, Provinsi Suriah Palestina, Provinsi Asia Kecil, dan Provinsi Mesir pecah dari Kekaisaran Romawi dan membentuk Kekaisaran Tadmur, yang diperintah oleh Ratu Zenobia dan berpusat di kota Tadmur. Pada tahun yang sama, Postumus mendirikan Kekaisaran Galia, yang meliputi wilayah Provinsi Britania dan Provinsi Galia.[127] Kedua negara pecahan Kekaisaran Romawi ini terbentuk sesudah Kaisar Valerianus menjadi tawanan wangsa Sasan, yang berkuasa di Persia kala itu. Valerianus adalah pemimpin Romawi pertama yang ditawan musuh, sehingga menjadi aib besar bagi bangsa Romawi.[126] Krisis mulai mereda pada masa pemerintahan Kaisar Claudius Gothicus (268–270), yang berhasil mematahkan invasi orang Goth, dan Kaisar Aurelianus (271–275), yang berhasil menaklukkan kembali Kekaisaran Galia maupun Kekaisaran Tadmur.[128][129] Krisis akhirnya dapat diatasi pada masa pemerintahan Kaisar Diocletianus.

Hukum Romawi memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum di dunia Barat.

Agama Romawi Kuno bersifat politeis, dengan banyak dewa dan dewi.

Kejatuhan Kekaisaran Romawi

Beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat adalah invasi bangsa barbar, masalah ekonomi, dan korupsi.

Pembagian Kekaisaran:

Kekaisaran Romawi terbagi menjadi dua bagian, yaitu Romawi Barat dan Romawi Timur (Bizantium). Romawi Barat runtuh pada abad ke-5 M, sedangkan Romawi Timur bertahan hingga tahun 1453.

Hukum Romawi menjadi dasar bagi sistem hukum di banyak negara Eropa.

Bahasa Latin, bahasa resmi Kekaisaran Romawi, menjadi dasar bagi banyak bahasa Eropa.

Bangunan-bangunan Romawi seperti Colosseum dan Pantheon masih berdiri hingga saat ini.

Sistem pemerintahan Romawi memengaruhi perkembangan pemerintahan di banyak negara.

Topik-topik menarik lainnya yang bisa Anda pelajari:

Petarung profesional yang menghibur penonton di Colosseum.

Kisah-kisah tentang dewa-dewi Romawi.

Kehidupan sehari-hari:

Bagaimana orang Romawi kuno hidup dan bekerja.

Seni dan sastra Romawi:

Karya-karya seni dan sastra yang dihasilkan oleh peradaban Romawi.

Apakah ada topik spesifik tentang Romawi Kuno yang ingin Anda pelajari lebih lanjut?

Beberapa pertanyaan yang bisa Anda ajukan:

Siapa kaisar Romawi yang paling terkenal?

Apa perbedaan antara republik dan kekaisaran?

Bagaimana sistem perbudakan bekerja di Roma Kuno?

Apa saja peninggalan Romawi yang masih bisa kita lihat saat ini?

Bangsa Romawi adalah penduduk kota Roma. Kota Roma dimulai dari perkampungan kecil di bukit-bukit Palatine dan Aventine. Diceritakan bahwa Romulus adalah raja pertama Roma, dan pendirian Roma secara tradisional terjadi pada 753 SM. Menurut legenda, Romulus merupakan keturunan pahlawan Troya, Aineias, yang bermigrasi ke Latium (Italia) setelah kejatuhan Troya.

Kerajaan Romawi dipimpin oleh tujuh raja. Raja ketujuhnya dikudeta dan rakyat Romawi menggantikannya dengan sistem pemerintahan republik pada 510 SM, sehingga Kerajaan Romawi berubah menjadi Republik Romawi. Pada masa kerajaan, tiga raja terakhir Romawi berasal dari bangsa Etruria (Toscana modern). Pada waku itu, bangsa Etruria adalah orang-orang yang paling kuat dan berpengaruh. Bangsa Etruria juga mengajari bangsa Romawi mengembangkan tulisan, ilmu pasti, arsitektur, seni, dan agama.

Romawi memenangkan serangkaian perang melawan musuh maupun sekutunya sendiri di daerah Latium. Pada abad ketiga SM, Romawi sukses menaklukan sebagian besar semenanjung Italia. Taras (kelak Tartentum) meminta Pirrhos dari Epiros untuk membebaskan kota-kota Yunani di Italia yang dikuasai oleh Romawi. Pirrhos memenangkan beberapa pertempuran (281-275 SM), namun kehilangan banyak sekali pasukan. Karenanya, Pirrhos pernah berkata, "jika sekali lagi kita menang, kita tetap akan dihancurkan oleh Romawi". Hingga kini, ungkapan "Kejayaan Pirrhos" diucapkan untuk menyatakan suatu kemenangan dengan pengorbanan yang besar.

Pada akhirnya, Romawi mengalahkan Yunani pada Pertempuran Beneventum (275 SM), dan Pirrhos harus angkat kaki dari Italia.

Pada saat kampanye militer Pirrhos di Italia dan Sisilia, Kartaghe merupakan sekutu Romawi, karena Pirrhos juga menyerang kota Kartaghe di Sisilia. Tetapi, di kemudian hari Romawi tertarik untuk menguasai Spanyol dan kepulauan Sardinia dan Korsika, yang saat itu dikendalikan oleh Kartaghe. Maka Kartaghe pun berkonfrontasi melawan Romawi dan terjadilan Perang Punik Pertama (264-241 SM). Pada akhirnya Kartaghe terpaksa harus menyetujui perjanjian dari Romawi.

Yang paling terkenal adalah Perang Punik Kedua (218-201 SM) ketika Kartaghe dipimpin oleh jenderal Hannibal Barca. Dengan membawa pasukan besar dari Kartaghe, Hannibal menginvasi Italia dan mengalahkan banyak legion Romawi. Hannibal menggunakan strategi serangan kejutan dan memenangkan pertempuran di Sungai Trebia (218 SM) dan di Danau Trasimene (217 SM). Pada Pertempuran Cannae, Hannibal kembali menunjukkan kehebatannya. Sementara Hannibal memimpin pasukan utamanya untuk menahan pasukan Romawi, sisa pasukannya mengelilingi pasukan Romawi dan memotong jalan keluar mereka. Pasukan Romawi lalu dihantam baik dari belakang maupun dari kedua sayap. Semua konsul dan dua mantan konsul Romawi terbunuh dalam pertempuran itu.

Romawi mengalami kerugian yang hebat namun mereka tidak menyerah pada Hannibal. Romawi lalu menunjuk salah satu jenderalnya, Quintus Fabius Maximus Kunktator, sebagai diktator. Strategi Fabius cukup sederhana: ikuti dan ganggu pasukan Hannibal, namun jangan lakukan pertempuran terbuka. Ini adalah jenis perang gerilya. Pada saat yang sama, Romawi mengirim pasukan yang dipimpin oleh Scipio bersaudara untuk menyerang basis Kartaghe di Spanyol, namun mereka terbunuh pada 211 SM. Scipio lain (anak dari salah satu Scipio yang terbunuh, kelak dikenal sebagai Scipio Afrikanus) memimpin serangan susulan dan berhasil menguasai Karthage Nova (Karthage baru) di Spanyol. Dia juga berhasil mengalahkan dan mengusir Hasdrubal Barca (adik Hannibal) dari Spanyol. Hasdrubal berusaha bergabung dengan kakaknya di Italia, namun usahanya digagalkan. Hasdrubal dikalahkan pada Pertempuran Metaurus (207 SM). Dengan perginya Kartaghe dari Spanyol, Scipio mengalihkan perhatiannya ke pusat pemerintahan Kartagahe, yaitu di Afrika. Hannibal tak punya pilihan selain meninggalkan Italia dan kembali ke Kartaghe.

Sebuah pertempuran besar terjadi di Zama pada 202 SM. Hannibal dan Scipio belum pernah bertempur sebelumnya, namun Scipio telah mempelajari taktik dan strategi Hannibal. Kali ini, pasukan kavaleri Romawi jumlahnya lebih banyak, dan Scipio menggunakan metode pengepungan milik Hannibal. Scipio mengirimkan pasukan kavalerinya untuk menyerang pasukan Hannibal dari belakang. Pada akhirnya, Kartaghe lagi-lagi harus menyetujui perjanjian damai hasil bikinan Romawi.

Tetapi, perdamaian dengan Kartaghe tidak menghentikan Romawi untuk mencari daerah jajahan baru di luar Italia. Pada saat kampanye militer Kartaghe di Italia, Filipos V (Philip V) dari Makedonia ikut membantu Kartaghe. Akibatnya Romawi pun menyerang Makedonia. Filipos V dikalahkan pada pertempuran di Kinosefalai (197 SM). Sekutu Filipos, Antioklos dari Suriah dan Asia Minor, juga ikut diserang dan dikalahkan. Di kemudian hari, Romawi kembali berperang melawan Makedonia, kali ini Makedonia dipimpin oleh putra Filipos V, yaitu Perseus. Makedonia dikalahkan pada pertempuran di Pidna (168 SM) dan Makedonia pun menjadi daerah jajahan Romawi.

Sementara itu Kartaghe di Afrika dan Korintus di Yunani bangkit melawan Romawi. Namun Romawi mampu mengalahkan mereka. Pada 146 SM, Romawi membakar habis kota Kartaghe dan Korintus. Romawi juga menjual semua penduduk Korinthos sebagai budak dan mengambil semua benda seni mereka. Dengan demikian, Afrika dan Yunani pun menjadi daerah kekuasaan Romawi.

Pada abad pertama SM, terjadi pemberontakan sipil di kota Roma. Para jenderal Romawi (yang sekalgus merupakan gubernur) saling memperebutkan kekuasaan. Pada 49 SM, terjadi lagi perang sipil antara Julius Caesar dan Pompey Magus. Caesar berhasil mengalahkan Pompey dan kembali ke Roma untuk membuat beberapa perubahan pada sistem politik Romawi. Namun dia dibunuh pada 44 SM. Persekutuan sementara didirikan oleh Oktavianus (keponakan Caesar), dan Markus Antonius (Mark Antony), salah satu anak buah Caesar. Mereka berbagi kekuasaan, Oktavianus memerintah wilayah barat, sedangkan Antonius mengurusi wilayah timur, seperti Yunani dan Suriah. Suatu hari, Antonius jatuh cinta pada Cleopatra, ratu Mesir dan mantan kekasih Caesar. Antonius lalu menceraikan saudari Oktavanianus dan menikahi Cleopatra, akibatnya terjadi perang antara keduanya. Oktavianus berhasil mengalahkan Antonius pada pertempuran laut di Aktium pada 31 SM. Antonius dan Cleopatra lalu bunuh diri.

Sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan, Oktavianus pun menjadi kaisar pertama Romawi pada 30 SM. Pada 27 SM, Oktavianus kembali ke Roma dan mulai melakukan reformasi pemerintahan. Namanya diganti menjadi Augustus Caesar. Romawi akhirnya kembali pulih setelah perang sipil yang panjang. Karya-karya Virgilus dan Ovidius bermunculan pada periode ini.

Selama perang sipil, Romawi memberikan kewarganegaraan Romawi pada para sekutunya, setelah Perang Sosial (91-89 SM). Pada masa Julius Caesar, kewarganegaraan boleh diberikan pada orang non-Italia, misalnya orang Galia, dan pada orang yang ingin tinggal di Kekaisaran Romawi. Salah satu warga Romawi yang terkenal adalah Saulus yang Yahudi, yang kelak dikenal sebagai Rasul Paulus.

Banyak di antara kaisar Romawi yang tak dilahirkan di kota Roma. Mungkin satu-satunya syarat untuk menjadi kaisar Romawi adalah harus warga Romawi. Kadanag, Senat memilih orang sebagai kaisar, namun di lain waktu, kandidat kaisar dicalonkan oleh pasukan Romawi di berbagai provinsi.

Augustus meninggalkan dinasti di Romawi setelah dia meninggal pada 41 M. Dia diteruskan oleh pemerintahan Tiberius (14-37 M), Caligula (37-41 M), Klaudius (41-54 M) dan Nero (54-68 M). Dinasti itu berakhir setelah kaisar Nero wafat pada 68 M. Dia bunuh diri setelah rakyatnya memberontak padanya. Setelah Nero, Romawi dipimpin oleh tiga kaisar dan masa pemerintahan mereka berlangsung pendek.

Pada 69 M, gubernur Romawi, Vespasianus (69-79 M), menjadi kaisar dan mendirikan dinasti yang baru. Di digantikan oleh putranya Titus (79-81 M) dan Domitianus (81-96 M).

Kekaisaran Romawi mencapai level dan stabilitas yang baru ketika dipimpin oleh kaisar Trajanus (98-117 M), Hadrianus (117-138 M) dan Antoninus Pius (138-161 M). Markus Aurelius (161-180 M) harus menjalani serangkaian pertempuran melawan kaum barbar di perbatasan Romawi. Dia digantikan oleh Kommodius, yang dibunuh pada 192 M. Pada abad ketiga M, terjadi gejolak dan pemberontakan di Romawi yang menyebabkan keterpurukan ekonomi.

Kaisar Diocletianus (284-305 M) dan koleganya Maximianus berusaha membangun kembali kekaisaran. Pengganti Diocletianus adalah Konstantius, yang merupakan ayah Constantinus Agung (312-337 M). Adalah Constantinus yang memindahkan ibukota ke Bizantium, yang namanya diganti menjadi Konstantinopel. Constantinus juga menjadikan Nasrani sebagai agama negara, walaupun dia sendiri baru dibaptis menjelang saat-saat kematiannya.

Pada abad keempat Masehi, perbatasan Romawi mendapat tekanan hebat dari kaum barbar, terutama oleh kaum Jerman. Kekaisaran Romawi lalu dibagi menjadi dua (394), dan masing-masing dipimpin oleh putra-putra kaisar Theodosius: Honorius memerintah di Romawi Barat, dan Arkadius berkuasa di Romawi Timur. Ada dua kelompok kaum Goth yang paling merusak Romawi, yaitu Visigoth dan Ostrogoth. Kaum Visigoth, dipimpin oleh Alarik, menyerang kota Roma pada 410 M. Karena hal ini, Honorius memanggil pulang legionnya yang sedang bertugas di Britania dan menyuruh mereka untuk mengabaikan daerah tersebut. Romawi Barat lalu diserang oleh Attila orang Hun, yang pasukannya berasal dari Asia Tengah. Attila dikalahkan pada Pertempuran Chalons di Perancis pada 451 M. Attila meninggal pada 453 M, namun setahun sebelumnya Atilla sempat menghancurkan daerah Aquileia di Italia Utara.

Adalah kaum Ostrogoth yang berhasil menaklukan Kekaisaran Romawi Barat. Pemimpin Ostrogoth, Odoaker, mengangkat dirinya sebagai Raja Italia. Dia juga mengasingkan kaisar terakhir Romawi, Romulus Augustus, ke Campagnia pada 76. Kaum Ostrogoth lainnya, dipimpin oleh Theodorik Agung, menginvasi Italia pada 489 M dan mendirikan kerajaan di Italia utara pada 493 M. Masa pemerintahan Theodorik berakhir pada 526 M, namun legendanya tetap abadi. Theodorik menjadi pahlawan dalam mitologi Norwegia, dan dia dikenal sebagai Dietrich dari Verona (atau Theodorik dari Bern).

Sebelum mengenal pertandingan seperti UFC, bagaimana pertunjukan tarung zaman dulu? Pada masa Romawi Kuno, masyarakat Romawi dipuaskan dengan pertunjukan para gladiator di arena. Seperti namanya, "gladiator" memiliki arti "pemegang pedang" karena gladius memiliki arti "pedang".

Mulai naik popularitas pada abad ke-1 SM hingga abad ke-2 Masehi, tarung gladiator mulai turun pamor hingga menghilang pada abad ke-4 Masehi. Meski begitu, sejarah telah mencatat berbagai sosok gladiator ulung yang mewarnai sejarah. Inilah tujuh sosok gladiator legendaris dari sejarah Romawi Kuno.

Marcus Attilus lahir sebagai seorang warga Romawi merdeka. Meski begitu, Marcus mendaftar ke sekolah gladiator atas kemauannya sendiri. Pada saat itu, pertarungan para gladiator dibagi secara merata berdasarkan pengalamannya: pendatang baru melawan pendatang baru hingga veteran melawan veteran.

Saat bertarung di Pompeii, Marcus yang masih baru malah dihadapkan dengan Hilarus, seorang gladiator veteran yang memenangkan 12 dari 14 pertarungan sekaligus jagoan Kaisar Nero. Tidak mau kalah, Marcus malah membuktikan dirinya dengan mengalahkan Hilarus.

Setelah Hilarus, Marcus dihadapkan juga dengan seorang petarung hebat, Lucius Raecius Felix, yang memenangkan 12 pertarungan dan belum pernah kalah. Hasilnya, lagi-lagi Marcus yang keluar sebagai pemenang. Kepahlawanan Marcus lalu diabadikan dalam bentuk gambar grafiti di luar Gerbang Nocerian, Pompeii.

Populer pada abad ke-1 Masehi, Spiculus mengawali kariernya dengan bersekolah gladiator di kota Capua, Italia Selatan. Seperti Marcus, Spiculus juga dihadapkan dengan veteran pemenang 16 pertandingan, Aptonetus. Kejutan, Spiculus tidak hanya mengalahkan Aptonetus, melainkan juga membunuhnya.

Kemenangan Spiculus membuatnya jadi kesayangan Kaisar Nero, sehingga sang Kaisar menghujani Spiculus dengan hadiah dan kemewahan. Bahkan, Spiculus diberikan sebuah istana tersendiri! Namun, hal ini tak membuat Spiculus setia kepada Nero.

Pada 68 Masehi, Nero menghadapi pemberontakan yang dipimpin oleh Gaius Julius Vindex. Sudah terpojok dan tak akan selamat, Nero mengharapkan Spiculus yang membunuhnya. Namun, Spiculus tak kunjung datang. Akhirnya, Nero memutuskan untuk bunuh diri.

Mungkin kamu mengenalnya sebagai karakter yang diperankan oleh Joaquin Phoenix. Di usia ke-16, Commodus memerintah Romawi Kuno bersama ayahnya, Marcus Aurelius. Namun, setelah Aurelius meninggal pada 180 Masehi, Commodus memegang kekuasaan tunggal.

Dikenal sebagai seorang diktator bengis, Commodus kerap menyamakan dirinya dengan Hercules, putra Jupiter yang super kuat. Hal ini terlihat dari berbagai patung Commodus yang dipahat mengenakan kulit singa (seperti Heracles dengan kulit Singa Nemea).

Selain kaisar, Commodus juga adalah seorang gladiator yang tak terkalahkan. Tentu saja, tak ada gladiator yang berani melawan sang Kaisar atau bisa kena ganjaran hukuman mati. Jadi, mereka menyerah dan Commodus pun menang. Tak puas, Commodus juga bertarung melawan hewan buas dan (tentu saja) menang.

Pada 192 Masehi, Commodus akhirnya menemui ajalnya di ajang gulat. Gagal diracun, Commodus akhirnya setuju untuk bertarung gulat dengan Narcissus, yang kemudian mencekiknya hingga wafat pada usia 31 tahun.

Baca Juga: 10 Kaisar Romawi yang Mengakhiri Hidupnya dengan Tragis

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Memiliki garis keturunan dari Suriah, Flamma (yang berarti "api") naik pamor sebagai gladiator unggul saat pemerintahan Kaisar Hadrian. Bertarung di Sisilia, Flamma membukukan 34 pertandingan. Dari 34 pertandingan tersebut, Flamma menang 21 kali. Meski kalah 13 kali, Flamma tetap dibiarkan hidup oleh wasit.

Karena kehebatannya, Flamma sempat ditawarkan untuk bebas dari posisi gladiator sebanyak empat kali. Namun, Flamma tetap menolak dan bertarung hingga akhirnya wafat pada usia 30 tahun, lagi-lagi usia yang tergolong jauh dibanding gladiator lain yang umumnya wafat di usia 20-an.

Kisahnya diadaptasi oleh dunia hiburan. Spartacus (Σπάρτακος) tercatat sebagai warga Suku Trakia yang dijual dan menjalani pelatihan gladiator di Capua. Meski begitu, Spartacus sebenarnya tidak pernah bertarung. Muak dengan siksaan di sekolah gladiator, Spartacus memimpin 70 gladiator muda untuk kabur ke Gunung Vesuvius pada 73SM.

Lalu, didukung oleh ratusan ribu pasukan, Spartacus memulai Perang Budak Ketiga pada 72SM. Terlihat makin kuat, Senat Romawi lalu menugaskan Marcus Licinius Crassus untuk meredam pemberontakan Spartacus dan kawan-kawan. Nahas, Crassus berhasil meredam dan menghabisi Spartacus beserta pasukannya.

Mereka yang selamat dari pasukan Spartacus ditangkap lalu disalibkan oleh Crassus. Masih menjadi misteri, konon, tubuh Spartacus tak ditemukan meski diyakini wafat di medan peperangan di Sungai Siler.

Selain Spartacus, Crixus juga termasuk dalam 70 gladiator yang kabur dari sekolah gladiator di Capua. Gladiator yang berasal dari kaum Galia ini dipilih menjadi salah satu dari tiga pemimpin selaim Spartacus dan Oenomaus. Bersama mereka, Crixus ikut bertempur dalam Perang Budak Ketiga.

Pada akhir 73SM, Crixus dan sekitar 30.000 pengikutnya memisahkan diri dari Spartacus karena alasan yang tidak dijelaskan. Lalu, pada 72 SM, Crixus dan pasukannya bertempur dengan pasukan Romawi dekat Monte Gargano dan sayangnya, mereka gugur dalam pertempuran tersebut.

Spartacus mendengar bahwa Crixus wafat di medan pertempuran dengan berani. Lalu, Spartacus mengadakan pertunjukan gladiator kecil-kecilan dan memaksa serdadu Romawi untuk bertarung hingga wafat. Sekitar 300 sampai 400 serdadu Romawi wafat karenanya.

Salah satu kelas gladiator adalah bestiarii (petarung hewan). Dari para gladiator bestiarii, Carpophorus adalah yang paling terkenal. Malah, ia lebih terkenal membunuh hewan dibanding bertarung dengan sesama gladiator di Colosseum.

Carpophorus sudah biasa bertarung dengan singa, beruang, macan, dan badak yang berukuran lebih besar. Konon, Carpophorus dikisahkan membunuh 20 hewan berbeda dalam satu kali pertempuran. Saking hebatnya, sang gladiator sampai disebut mirip Hercules.

Itulah tujuh sosok gladiator paling terkenal dalam sejarah Romawi Kuno. Bukan main tangguhnya, dan mungkin lebih tangguh dari petarung masa kini! Dari ketujuh sosok gladiator tersebut, mana yang menurutmu paling memorable?

Baca Juga: Ini Rasanya Jadi Budak di Masa Pemerintahan Romawi Kuno

Nationalgeographic.co.id—Banyak anak tidak berhasil melewati masa kanak-kanaknya pada zaman Romawi kuno. Hal ini lantaran banyaknya penyakit yang muncul dan berbahaya sebelum ditemukannya vaksin pada akhir abad ke-18. Lalu bagaimana kehidupan di anak-anak dalam sejarah Romawi kuno?

Tahapan Masa Kecil Romawi

Di zaman modern, kita memandang masa kanak-kanak dan masa muda seseorang memiliki tahapan yang berbeda. Misalnya, jika seseorang masih bayi hingga ia berusia sekitar 5 atau 6 tahun dianggap sebagai anak-anak dan memasuki tahap remaja dimulai usia 13 tahun atau lebih. Namun, masyarakat Romawi kuno menganggap seseorang ketika mencapai usia 13 atau 14 tahun sebagai orang dewasa muda.

Pendidikan Anak di Roma

Saat ini, pendidikan adalah hal yang penting bagi masa kanak-kanak. Sistem pendidikan Romawi mencerminkan kurikulum pendidikan yang telah berkembang dalam masyarakat Yunani sejak abad keenam SM.

Orang kaya mempunyai guru privat, sementara yang lain bersekolah di sekolah setara Romawi. Di sana mereka belajar membaca dan menulis bahasa Latin dengan baik dan juga bahasa Yunani, bahasa budaya.

Kurikulumnya berfokus pada tata bahasa, retorika, dan filsafat di atas segalanya, sementara unsur mitologi dan sastra Yunani dan Romawi juga dimasukkan.

Anak laki-laki diharapkan unggul dalam retorika, pidato, dan filsafat seiring bertambahnya usia, dengan aliran Stoic menjadi yang terpenting dalam bidang yang terakhir. Sebaliknya, anak perempuan diharapkan belajar menjahit dan menjalankan rumah tangga.

Keluarga dan Perceraian di Roma Kuno

Dalam catatan sejarah Romawi kuno, sebagian besar anak-anak terkena dampak perceraian. Namun, berbeda dengan mayoritas masyarakat pra-modern, masyarakat Romawi sangat liberal dalam pendekatan mereka terhadap perceraian.

Sebagian besar masyarakat mengharuskan individu yang sudah menikah untuk membenarkan perpisahan yang sah dengan menyoroti perselingkuhan pasangannya atau alasan lain yang mengharuskan diakhirinya perkawinan mereka. Bagi orang-orang Romawi, sudah cukup jika salah satu dari mereka yang terlibat memutuskan bahwa mereka tidak ingin lagi menikah dengan yang lain.

Jika mereka sudah muak dengan suami atau istri, mereka dapat memulai proses perceraian dan memperolehnya dengan mudah. Hal ini memastikan bahwa banyak anak-anak Romawi adalah anak-anak hasil perceraian.

Dampaknya cukup besar karena merusak hubungan antara ibu dan anak, karena anak hasil perkawinan selalu tinggal bersama ayahnya. Tentu saja kontak dengan ibu akan tetap terjaga, namun hal ini pasti berdampak pada psikologi anak.

Selain itu, karena perceraian sangat umum terjadi pada zaman Romawi, anak-anak sering kali tumbuh bersama saudara tiri dan saudara tiri. Sayangnya, respons emosional terhadap semua ini tidak ada dalam sumber tertulis kami saat itu.

Adopsi di Zaman Romawi

Elemen lain dari masa kanak-kanak Romawi yang perlu diingat, khususnya bagi putra dan putri kelas atas adalah prevalensi adopsi dalam masyarakat Romawi.

Adopsi tersebar luas. Banyak orang Romawi mengadopsi orang-orang dari luar klan atau kerabat dekat mereka, seperti sepupu pertama, keponakan laki-laki, atau keponakan perempuan.

Seringkali hal ini dilakukan sebagai cara untuk memilih ahli waris yang layak untuk menyukseskan diri sendiri, daripada mengandalkan garis keturunan. Contoh utama dari hal ini adalah Oktavianus, yang diadopsi oleh paman buyutnya, Julius Caesar.

Memang benar, sebagian besar kaisar Julio-Claudian yang mengikuti Kaisar Augustus hingga Nero pada tahun 60an M adalah kerabat angkat dalam keluarga Julio-Claudian yang lebih luas.

Pola ini bahkan lebih ekstrim lagi pada abad kedua M ketika masing-masing dari apa yang disebut 'Lima Kaisar yang Baik', Nerva, Trajan, Hadrian, Antoninus Pius, dan Marcus Aurelius, mengadopsi penerus mereka. Oleh karena itu, banyak anak Romawi yang diadopsi atau dibesarkan dalam rumah tangga yang memiliki saudara laki-laki atau perempuan angkat.

Secara umum, seseorang mulai memasuki masa dewasanya sekitar waktu yang sama dengan saat kita menganggap anak-anak menjadi remaja saat ini.

Memang tidak jarang orang Romawi menikah ketika mereka berusia 13 atau 14 tahun. Namun, karena sifat patriarki masyarakat Romawi, maka paterfamilias, kepala rumah tangga, tetap memegang kendali atas keputusan yang dibuat oleh putra dan putri hingga dia meninggal.

Seseorang tidak dapat dikatakan menjadi orang dewasa yang sepenuhnya mandiri sampai  ayah keluarganya meninggal.

Hal ini memastikan bahwa bangsa Romawi mempunyai elemen pembangunan yang tertahan di masyarakat mereka, dimana anak-anak lelaki berusia tiga puluhan masih tunduk pada ayah mereka lama setelah kita tidak lagi menganggap manusia sebagai anak-anak saat ini.

Oleh karena itu, terdapat kontradiksi yang aneh mengenai bagaimana masa kanak-kanak berakhir pada usia dini di antara orang-orang Romawi dan sering kali berlanjut hingga dewasa.

Kura-Kura Leher Ular Rote Terancam Punah, Masyarakat Jadi Kunci Konservasi

Di bidang historiografi modern, Romawi Kuno adalah sebutan bagi peradaban bangsa Romawi mulai dari berdirinya kota Roma pada abad ke-8 Pramasehi sampai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 Masehi, yakni rentang waktu yang mencakup zaman Kerajaan Romawi (753–509 SM), zaman Republik Romawi (509–27 SM), dan zaman Kekaisaran Romawi sampai dengan tumbangnya Romawi Barat (27 SM– 476 M).[1] Cikal bakal peradaban ini adalah perkampungan orang Itali yang didirikan di tepi Sungai Tiber di Jazirah Italia pada tahun 753 SM. Lambat laun perkampungan ini berkembang menjadi negara kota Roma, dan kemudian hari menguasai daerah-daerah tetangganya melalui perjanjian dan kekuatan militer. Negara kota Roma pada akhirnya menguasai Jazirah Italia, menyerap kebudayaan Yunani di kawasan selatan Italia (daerah Yunani Besar) maupun kebudayaan Etruski, dan menjadi negara adidaya di kawasan Laut Tengah maupun di sebagian Benua Eropa. Negara kota Roma tumbuh menjadi salah satu kemaharajaan terbesar di dunia pada Abad Kuno, dengan populasi seramai kira-kira 50 sampai 90 juta jiwa (sekitar 20% dari keseluruhan populasi dunia pada zamannya),[2] dan wilayah seluas 5 juta persegi pada tahun 117 M.[3]

Dari abad ke abad, negara binaan bangsa Romawi ini sedikit demi sedikit berkembang dari negara monarki elektif menjadi negara republik kuno yang demokratis, dan selanjutnya menjadi negara kekaisaran diktator militer semielektif yang kian lama kian autokratis. Melalui perang penaklukan serta asimilasi budaya dan bahasa, Kekaisaran Romawi mampu menguasai beragam suku bangsa dan wilayah yang sangat luas. Pada masa jayanya, Kekaisaran Romawi berdaulat atas kawasan pesisir utara Afrika, Mesir, kawasan selatan Eropa, sebagian besar kawasan barat Eropa, Jazirah Balkan, Jazirah Krimea, dan sebagian besar kawasan Timur Tengah, termasuk Syam, berikut sejumlah daerah di Mesopotamia dan Jazirah Arab. Romawi Kuno kerap disandingkan dengan Yunani Kuno dalam kelompok peradaban Abad Kuno. Budaya serta masyarakat kedua peradaban ini sangat mirip satu sama lain, sehingga disamaratakan dengan sebutan Dunia Yunani-Romawi.

Peradaban Romawi Kuno punya andil besar dalam perkembangan bahasa, agama, tata kemasyarakatan, teknologi, hukum, politik, ketatanegaraan, tata cara berperang, kesenian, kesusastraan, arsitektur, dan ilmu teknik Zaman Modern. Roma memprofesionalisasi serta mengembangkan kekuatan militernya, dan menciptakan sistem pemerintahan res publica, yang menginspirasi pembentukan negara-negara republik pada Zaman Modern[4][5][6] semisal Amerika Serikat dan Prancis. Peradaban Romawi Kuno sudah mampu melakukan rekayasa yang mengagumkan di bidang teknologi dan arsitektur, misalnya membangun jaringan akuaduk, jaringan jalan raya, monumen-monumen, istana-istana, dan fasilitas-fasilitas umum berukuran raksasa.

Perang Punik melawan Kartago adalah serangkaian perang yang mengantarkan Roma menjadi salah satu negara adidaya pada zamannya. Dalam perang beruntun ini, Roma berhasil merebut pulau-pulau yang strategis, yakni Korsika, Sardinia, dan Sisilia, berhasil merebut Hispania (Spanyol dan Portugal sekarang ini), serta berhasil meluluhlantakkan kota Kartago pada tahun 146 SM. Segala keberhasilan ini membuat Roma menjadi negara terunggul di seantero kawasan sekeliling Laut Tengah. Pada penghujung zaman republik (27 SM), Roma telah berhasil menundukkan negeri-negeri di sekeliling Laut Tengah bahkan lebih jauh lagi. Wilayah kekuasaannya membentang dari Samudra Atlantik sampai ke Jazirah Arab, dan dari muara Sungai Rhein sampai ke Afrika Utara. Kekaisaran Romawi bermula seiring tamatnya riwayat Republik Romawi dan berakhirnya masa kediktatoran militer Augustus. Perang selama 721 tahun antara Roma dan Persia bermula pada tahun 92 SM dengan meletusnya Perang Romawi-Partia, dan merupakan konflik terlama sepanjang sejarah umat manusia, yang berdampak besar terhadap masa depan kedua negara.

Pada masa pemerintahan Traianus, luas wilayah Kekaisaran Romawi mencapai puncaknya, membentang dari kawasan sekeliling Laut Tengah sampai ke pantai Laut Utara di sebelah utara, dan pantai Laut Tengah serta pantai Laut Kaspia di sebelah timur. Adab dan adat warisan zaman republik mulai memudar pada zaman kekaisaran, manakala perang saudara menjadi peristiwa lumrah yang mengawali kemunculan kaisar baru.[7][8][9] Negara-negara pecahan Kekaisaran Romawi, semisal Kekaisaran Tadmur, sempat menyekat wilayah kekaisaran semasa Krisis Abad Ketiga.

Akibat digerogoti kekacauan di dalam negeri dan serangan suku-suku bangsa asing yang hijrah ke wilayahnya, bagian barat Kekaisaran Romawi akhirnya terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan merdeka bentukan suku-suku Barbar pada abad ke-5. Para sejarawan menjadikan peristiwa keterpecahbelahan ini sebagai tonggak sejarah semesta yang memisahkan kurun waktu kuno dari kurun waktu "kegelapan" pra-Abad Pertengahan di Eropa. Bagian timur Kekaisaran Romawi bertahan menyintasi abad ke-5, dan tetap menonjol sebagai salah satu negara adidaya di pentas dunia sepanjang "Abad Kegelapan" dan Abad Pertengahan, sampai akhirnya tumbang pada tahun 1453. Kendati rakyat Kekaisaran Romawi tidak membeda-bedakan bagian barat dari bagian timur, para sejarawan Zaman Modern lazimnya menggunakan istilah "Kekaisaran Romawi Timur" sebagai sebutan bagi Kekaisaran Romawi yang tersisa pada Abad Pertengahan, guna membedakannya dari Kekaisaran Romawi yang seutuhnya pada Abad Kuno.[10]

Menurut mitos asal usulnya, kota Roma didirikan pada tanggal 21 April 753 SM, di tepi Sungai Tiber, kawasan tengah Jazirah Italia, oleh si kembar Romulus dan Remus, cucu-cucu Numitor, raja orang Latini Alba Longa, keturunan pahlawan besar Troya, Aeneas (bahasa Yunani: Αἰνείας, Aineías).[11] Rhea Silvia, anak perempuan Raja Numitor, adalah ibu kandung si kembar.[12][13] Konon Rhea Silvia berbadan dua setelah digagahi Mars, dewa perang bangsa Romawi, sehingga si kembar Romulus dan Remus pun dianggap sebagai manusia-manusia setengah dewa.

Raja Numitor dimakzulkan saudara kandungnya, Amulius. Karena khawatir suatu ketika nanti Romulus dan Remus akan merebut kembali singgasana, Amulius menyuruh orang menenggelamkan kedua bayi kembar itu.[13] Seekor serigala betina (atau seorang istri gembala menurut sejumlah riwayat lain) menyelamatkan dan membesarkan mereka. Sesudah beranjak dewasa, si kembar merebut dan menyerahkan kembali singgasana Alba Longa kepada Numitor.[13][14]

Si kembar selanjutnya mendirikan kota mereka sendiri. Malangnya Remus tewas dibunuh Romulus dalam pertengkaran mengenai letak kerajaan yang akan mereka dirikan. Menurut beberapa sumber, keduanya mempertengkarkan soal siapa yang akan menjadi raja, atau siapa yang namanya akan dijadikan nama kota.[15] Nama Romuluslah yang akhirnya menjadi nama kota binaan si kembar.[13] Untuk memperbanyak jumlah warganya, Roma menawarkan suaka bagi kaum papa, orang-orang buangan, dan orang-orang yang keberadaannya tidak diharapkan. Kebijakan ini menimbulkan masalah, karena jumlah warga laki-laki terus meningkat, sementara warga perempuan menjadi langka. Romulus sampai harus melawat kota demi kota dan suku demi suku di sekitar Roma, dalam rangka mencarikan istri bagi sekian banyak warga Roma yang masih membujang. Akan tetapi Roma sudah telanjur dipenuhi orang-orang yang tidak disukai sehingga usaha Romulus menemui jalan buntu. Menurut legenda, orang Latini akhirnya menggunakan tipu muslihat demi mendapatkan istri. Mereka mengundang orang Sabini menghadiri suatu perayaan meriah, lalu melarikan anak-anak gadis mereka, sehingga orang Latini dan orang Sabini akhirnya berbaur.[16]

Menurut legenda lain yang dicatat oleh sejarawan Yunani, Dionisios asal Halikarnasos, konon sesudah kota Troya diluluhlantakkan orang-orang Yunani dalam Perang Troya, Aeneas memimpin serombongan pengungsi Troya berlayar mencari tempat untuk mendirikan kota Troya yang baru. Setelah mengarungi laut yang bergelora, mereka akhirnya mendarat di tepi Sungai Tiber. Tak seberapa lama menjejaki daratan, para penumpang lelaki sudah ingin kembali berlayar, bertolak belakang dengan keinginan para penumpang perempuan. Roma, salah seorang penumpang perempuan, mengajak perempuan-perempuan lain bersama-sama membakar kapal guna membatalkan pelayaran. Para penumpang lelaki mula-mula memarahi Roma, tetapi akhirnya sadar bahwa tempat persinggahan mereka sesungguhnya layak dijadikan tempat bermukim yang baru. Permukiman yang mereka dirikan di tepi Sungai Tiber diberi nama Roma, sama seperti nama biang kerok pembakaran kapal mereka.[17]

Pujangga Romawi, Vergilius, meriwayatkan kembali legenda ini dalam syair wiracarita gubahannya, Aeneis. Dikisahkan bahwa Aeneas, si pangeran Troya, telah ditakdirkan dewata menjadi pendiri Troya baru. Para penumpang perempuan juga dikisahkan menolak untuk kembali berlayar, tetapi tidak berlanjut dengan pembangunan permukiman di tepi Sungai Tiber. Sesudah berlabuh di Italia, Aeneas, yang hendak memperistri Lavinia, harus berperang melawan Turnus, yang sudah lebih dahulu mengincar Lavinia. Menurut syair wiracarita ini, raja-raja Alba Longa termasuk nasab Aeneas, dan dengan demikian Romulus, pendiri kota Roma, terhitung sebagai keturunannya.

Kota Roma tumbuh dari permukiman-permukiman di sekitar dangkalan Sungai Tiber, salah satu titik persimpangan lalu lintas dan perniagaan.[14] Berdasarkan bukti-bukti arkeologi, desa Roma mungkin didirikan pada abad ke-8 SM, kendati mungkin pula sudah didirikan seawal-awalnya pada abad ke-10 SM, oleh orang Latini, di puncak Bukit Palatium.[18][19]

Orang Etruski, yang sudah lebih dahulu mendiami daerah Etruria di sebelah utara, agaknya telah menancapkan cengkeraman politik mereka di kawasan itu pada penghujung abad ke-7 SM, dan menjadi semacam golongan elit kaum ningrat beserta kepala monarki. Kekuasaan orang Etruski agaknya meredup pada penghujung abad ke-6 SM. Pada waktu inilah orang Latini dan orang Sabini menegakkan kembali kedaulatan mereka dengan mendirikan sebuah negara republik dengan lebih banyak batasan bagi pemimpin dalam menjalankan kekuasaan.[20]

Menurut keyakinan turun-temurun bangsa Romawi dan berdasarkan bukti-bukti arkeologi, lingkungan di ujung tenggara Forum Romanum adalah pusat pemerintahan dan keagamaan bangsa Romawi yang mula-mula. Numa Pompilius, Raja Roma yang kedua, pengganti Romulus, mengawali kegiatan pembangunan kota dengan mendirikan regia (keraton), dan asrama perawan Vesta di tempat itu.

Menurut keyakinan turun-temurun dan keterangan pujangga-pujangga terkemudian semisal Livius, negara Republik Romawi lahir sekitar tahun 509 SM,[21] manakala Raja Roma ke-7, Tarquinus Si Tinggi Hati, digulingkan oleh Lucius Iunius Brutus, dan sistem monarki diganti dengan sistem pemerintahan baru yang diselenggarakan oleh para magistratus, pejabat negara yang dipilih tiap-tiap tahun untuk mengepalai berbagai bidang ketatanegaraan.[22] Undang-undang dasar negara Republik Romawi mengatur tentang pengawasan dan perimbangan kekuasaan. Para magistratus yang paling utama adalah dua orang consul, yang bersama-sama menjalankan kewenangan eksekutif semisal imperium, yakni kewenangan memerintah bala tentara.[23] Para consul harus bekerja sama dengan senatus. Mula-mula senatus adalah dewan penasihat yang beranggotakan orang-orang dari kalangan ningrat, yakni kaum patricius, tetapi kewenangan maupun jumlah anggotanya lama-kelamaan semakin besar.[24]

Para magistratus lain adalah tribunus, quaestor, aedilis, praetor, dan censor.[25] Mula-mula hanya kaum patricius yang dibenarkan menjadi magistratus, tetapi di kemudian hari kaum plebs (rakyat jelata) juga diberi kesempatan yang sama.[26] Sidang-sidang pemungutan suara di negara Republik Romawi adalah comitia centuriata (sidang seratus warga), yang melakukan pemungutan suara untuk mengambil keputusan terkait pemakluman perang, kesepakatan damai, dan pemilihan orang-orang yang akan menduduki jabatan-jabatan terpenting, serta comitia tributa (sidang warga suku), yang melakukan pemungutan suara untuk memilih orang-orang yang akan menduduki jabatan-jabatan yang tidak begitu penting.[27]

Pada abad ke-4 SM, Roma diserang orang Galia, yang kala itu telah memperluas wilayah kekuasaannya ke Jazirah Italia melintasi Lembah Po dan menerobos masuk ke Etruria. Pada tanggal 16 Juli 390 SM, bala tentara Galia di bawah pimpinan Brennus, salah seorang kepala suku mereka, menggempur orang Romawi di tepi Sungai Allia, hanya sepuluh mil ke utara dari kota Roma. Orang Romawi dapat dikalahkan, dan orang Galia pun langsung bergerak menuju Roma. Sebagian besar warga Roma telah mengungsi, tetapi ada sejumlah warga yang masih bertahan di Bukit Capitolium, dan bertekad melawan musuh sampai titik darah penghabisan. Orang Galia menjarah dan membumihanguskan kota Roma, lalu mengepung Bukit Capitolium. Aksi pengepungan berlangsung selama tujuh bulan sampai orang Galia bersedia berdamai dengan imbalan 1.000 pon (450 kg) emas.[28] Menurut legenda yang baru muncul di kemudian hari, konon petugas Romawi yang mengawasi kegiatan penimbangan emas mendapati orang Galia menggunakan dacin yang sudah diakali. Orang Romawi pun naik pitam, segera menghunus senjata, dan berhasil mengalahkan orang Galia. Semangat juang orang Romawi dipuji panglima mereka, Marcus Furius Camillus, dengan kalimat "Roma membeli kemerdekaannya dengan besi, bukan dengan emas."[29]

Suku-suku bangsa lain di Jazirah Italia, termasuk orang Etruski, satu demi satu ditundukkan oleh orang Romawi.[30] Ancaman terakhir terhadap hegemoni Romawi di Jazirah Italia muncul tatkala Tarentum, salah satu koloni orang Yunani yang cukup besar, mendatangkan Piros asal Epiros (bahasa Latin: Pyrrhus Epirotes; bahasa Yunani: Πύρρος της Ηπείρου, Piros tis Ipeirou) pada tahun 281 SM untuk melawan orang Romawi, tetapi berakhir dengan kegagalan.[30][31] Orang Romawi mengekalkan keberhasilan aksi-aksi penaklukan mereka dengan mendirikan koloni-koloni Romawi di tempat-tempat strategis, sehingga terbentuk suatu rentang kendali yang kukuh mencengkeram daerah-daerah taklukan mereka di Jazirah Italia.[30]

Pada abad ke-3 SM, Roma mendapat lawan baru yang tangguh, yakni Kartago, negara kota bangsa Fenisia yang kaya lagi makmur dan berhasrat menguasai seluruh kawasan sekitar Laut Tengah. Roma dan Kartago pernah bersekutu pada zaman Piros dari Epiros, musuh bersama mereka, tetapi hegemoni Roma di daratan Italia dan kejayaan bahari Kartago melambungkan masing-masing kota menjadi dua kekuatan utama di sebelah barat kawasan Laut Tengah, dan benturan kepentingan kedua kota atas kawasan Laut Tengah tak ayal berujung sengketa.

Perang Punik I meletus pada tahun 264 SM, manakala kota Messana meminta bantuan Kartago untuk menuntaskan pertikaian dengan Hieron asal Sirakusa (bahasa Latin: Hiero Syracusanus; bahasa Yunani: Ἱέρων των Συρακουσών, Hieron ton Sirakouson). Setelah orang Kartago turun tangan, Messana meminta Roma mengusir mereka. Roma melibatkan diri dalam perang ini karena Sirakusa dan Messana terlampau dekat dengan kota-kota Yunani di kawasan selatan Italia yang baru saja takluk, dan Kartago kini mampu menyerang masuk ke dalam wilayah kekuasaan Romawi. Selain itu, Roma juga juga berharap dapat memasukkan Sisilia ke dalam wilayah kekuasaannya.[35]

Orang Romawi memang sudah biasa bertempur di darat, tetapi kali ini mereka juga harus mampu bertempur di laut jika ingin mengalahkan seteru barunya. Kartago adalah sebuah negara bahari, sementara negara Republik Romawi tidak memiliki cukup kapal maupun pengalaman tempur di laut, sehingga mustahil dapat memenangkan perang tanpa lebih dahulu bersusah payah dalam waktu yang lama. Kendati demikian, Roma berhasil mengalahkan dan memaksa Kartago untuk berdamai sesudah 20 tahun lebih saling memerangi. Salah satu penyebab meletusnya Perang Punik II[36] adalah syarat membayar pampasan perang yang terpaksa disetujui Kartago demi tercapainya kesepakatan damai seusai Perang Punik I.[37]

Perang Punik II termasyhur karena kehebatan panglima-panglima perangnya, yakni Hannibal Barca (bahasa Punik: 𐤇𐤍𐤁𐤏𐤋 𐤁𐤓𐤒, Hanibaʿal Baraq) dan Hasdrubal Barca (bahasa Punik: 𐤏𐤆𐤓‬‬𐤁‬𐤏𐤋 𐤁𐤓𐤒, ʿAzrubaʿal Baraq) di kubu Kartago, serta Marcus Claudius Marcellus, Quintus Fabius Maximus Verrucosus, dan Publius Cornelius Scipio di kubu Roma. Semasa berlangsungnya Perang Punik II, Roma juga terlibat dalam Perang Makedonia I. Perang Punik II bermula dengan invasi nekat atas Hispania oleh Hannibal Barca, Senapati Kartago yang pernah memimpin aksi-aksi militer Kartago di Sisilia pada Perang Punik I. Hannibal, putra Hamilcar Barca (bahasa Punik: 𐤇𐤌𐤋𐤒𐤓𐤕 𐤁𐤓𐤒, Hamilqart Baraq), bergerak cepat melintasi Hispania menuju Pegunungan Alpen Italia, sehingga menggentarkan sekutu-sekutu Roma di Italia. Cara terbaik menggagalkan usaha Hannibal untuk membuat orang-orang Italia mengkhianati Roma adalah memperlambat laju pergerakan bala tentara Kartago dengan serangan-serangan gerilya guna memangkas kekuatan tempur mereka sedikit demi sedikit. Muslihat ini diusulkan oleh Quintus Fabius Maximus sehingga akhirnya terkenal dengan sebutan Muslihat Fabius, dan Quintus Fabius Maximus sendiri kelak dijuluki Cunctator (Si Penghambat). Akibat muslihat ini, Hannibal tidak dapat menggerakkan cukup banyak kota di Italia untuk melawan Roma maupun untuk menambah kekuatan tempurnya yang sudah menyusut akibat aksi-aksi gerilya Romawi, sehingga jumlah prajurit dan alat tempurnya tidak cukup memadai untuk dikerahkan mengepung Roma.

Kendati demikian, Hanibal tetap saja merajalela di Italia sampai 16 tahun lamanya. Setelah Hannibal diperkirakan sudah kehabisan perbekalan, orang Romawi pun mengeluarkan jagoan mereka, Publius Cornelius Scipio. Senapati Romawi ini berhasil mengalahkan adik Hannibal, Hasdrubal Barca, di daerah yang kini menjadi wilayah negara Spanyol, dengan maksud merongrong daerah sekitaran ibu kota musuh yang tidak dijaga sehingga Hannibal terpaksa harus pulang untuk mempertahankan kota Kartago. Perang Punik II berakhir dengan kemenangan mutlak Romawi dalam Pertempuran Zama pada bulan Oktober 202 SM di Afrika, yang membuat Publius Cornelius Scipio mendapatkan agnomen Africanus. Sekalipun banyak berkorban, Roma juga mendapatkan banyak keuntungan, yakni kedaulatan atas Hispania berkat aksi penaklukan Publius Cornelius Scipio, dan kedaulatan atas Sirakusa, daerah kekuasaan terakhir bangsa Yunani di Pulau Sisilia, berkat aksi penaklukan Marcus Claudius Marcellus.

Setengah abad lebih sesudah peristiwa-peristiwa ini, Kartago sudah benar-benar terpuruk, dan Roma sudah tidak lagi memusingkan seteru Afrikanya itu. Perhatian Republik Romawi kala itu sepenuhnya diarahkan pada kerajaan-kerajaan Helenistik di Yunani dan pemberontakan-pemberontakan di Hispania. Kendati demikian, sesudah melunasi pampasan perang, Kartago merasa tidak perlu lagi tunduk dan patuh pada Roma, berlawanan dengan pandangan senatus. Ketika diinvasi Numidia pada tahun 151 SM, Kartago meminta Roma turun tangan. Duta-duta pun diutus ke Kartago, antara lain Marcus Porcius Cato. Setelah menginsyafi bahwa Kartago masih berpeluang bangkit dari keterpurukan dan kembali berjaya, Marcus Porcius Cato senantiasa mengakhiri setiap pidatonya, apa pun isinya, dengan kalimat "Ceterum censeo Carthaginem esse delendam" (akhir kata, menurut hemat saya, Kartago harus dibinasakan).

Perang Punik III meletus pada tahun 149 SM, ketika Roma memaklumkan perang melawan Kartago, yang telah lancang memerangi Numidia tanpa persetujuan Roma. Dengan mengerahkan seluruh warganya, Kartago mampu menangkis serangan pertama Roma. Kendati demikian, Kartago tidak cukup tangguh untuk membendung serangan Scipio Aemilianus, yang meluluhlantakkan seantero kota beserta tembok-temboknya, memperbudak dan menjual habis seluruh warganya, serta menegakkan kedaulatan Romawi di bekas wilayah Kartago, yang menjadi cikal bakal dari Provinsi Afrika jajahan Romawi. Dengan demikian, zaman Perang Punik pun berakhir. Semua perang ini membuat Roma mendapatkan daerah-daerah jajahan seberang laut yang pertama (Sisilia, Hispania, dan Afrika), melambungkan Roma menjadi salah satu negara kekaisaran utama, dan menjadi awal dari berakhirnya demokrasi. [38][39]

Rujukan dan keterangan

This item is eligible for free replacement, within 10 days of delivery, in an unlikely event of damaged, defective or different/wrong item delivered to you. .

Please keep the item in its original condition, original packaging, with user manual, warranty cards, and original accessories in manufacturer packaging for a successful return pick-up.

If you report an issue with your Furniture,we may schedule a technician visit to your location. On the basis of the technician's evaluation report, we will provide resolution.

Returnable if you’ve received the product in a condition that is damaged, defective or different from its description on the product detail page on Amazon.in.

In certain cases, if you report an issue with your Air Conditioner, Refrigerator, Washing Machine or Microwave, we may schedule a technician visit to your location. On the basis of the technician's evaluation report, we'll provide a resolution.

Runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat

Pada akhir abad ke-4 dan abad ke-5, wilayah barat Kekaisaran Romawi memasuki masa genting yang berakhir dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat.[139] Di bawah kepemimpinan kaisar-kaisar terakhir dari wangsa Constantiniana dan wangsa Valentiniana, Roma kalah telak dalam pertempuran melawan Kekaisaran Wangsa Sasan dan suku-suku barbar Germanika. Kaisar Iulianus Si Murtad gugur dalam Pertempuran Samara melawan Persia pada tahun 363, sementara Kaisar Valens gugur dalam Pertempuran Adrianopolis melawan orang Goth pada tahun 378. Sesudah menang perang, orang Goth tidak kunjung dapat dienyahkan maupun berbaur dengan masyarakat Kekaisaran Romawi.[140] Kaisar berikutnya, Theodosius I (379–395), kian memperkukuh agama Kristen, dan setelah ia mangkat, Kekaisaran Romawi dibagi menjadi Kekaisaran Romawi Timur dan Kekaisaran Romawi Barat, masing-masing dipimpin oleh Arcadius dan Honorius, kedua putranya.

Keadaan menjadi kian genting pada tahun 408, sepeninggal Stilicho, senapati yang berikhtiar mempersatukan kembali kekaisaran yang terbagi dua dan berjasa mengusir suku-suku bangsa barbar yang menginvasi wilayah kekaisaran pada tahun-tahun permulaan abad ke-5 M. Angkatan bersenjata lapangan yang profesional hancur berantakan. Pada tahun 410, zaman wangsa Theodosiana, orang Visigoth menyerbu dan menjarah rayah kota Roma.[141] Pada abad ke-5, Kekaisaran Romawi Barat mengalami penyusutan wilayah kedaulatan. Orang Vandal menaklukkan Afrika Utara, orang Visogoth menduduki kawasan selatan Galia, orang Suebi merebut Hispania Galisia, Britania ditelantarkan pemerintah pusat, dan Kekaisaran Romawi dirongrong invasi-invasi Attila, pemimpin orang Hun.[142][143][144][145][146][147] Senapati Orestes menolak memenuhi tuntutan-tuntutan suku-suku barbar "sekutu", yang kala itu merupakan bagian dari angkatan bersenjata kekaisaran, dan berusaha mengusir mereka dari Italia. Tindakan Orestes membuat Odoacer, pemimpin suku-suku barbar sekutu, naik pitam. Odoacer mengalahkan sekaligus menewaskan Orestes, menginvasi Ravenna, dan menggulingkan Kaisar Romulus Augustus, putra Orestes. Peristiwa yang terjadi pada tahun 476 ini biasanya dianggap sebagai tonggak sejarah penanda batas antara Abad Kuno dan Abad Pertengahan.[148][149] Mantan kaisar keturunan ningrat yang digulingkan Orestes, Yulius Nepos, terus memerintah selaku kaisar di Dalmatia, bahkan sesudah penggulingan Romulus Augustus, sampai mangkat pada tahun 480. Beberapa sejarawan berpandangan bahwa Iulius Neposlah Kaisar Romawi Barat yang terakhir, bukan Romulus Augustus.[150]

Setelah merdeka selama kurang lebih 1200 tahun, dan adidaya selama hampir 700 tahun, negara bangsa Romawi di belahan Dunia Barat akhirnya runtuh.[151] Semenjak saat itu pula muncul berbagai macam pendapat mengenai sebab-musabab runtuhnya Roma, antara lain akibat hilangnya bentuk pemerintahan republik, kemerosotan akhlak, tirani militer, perang antargolongan, perbudakan, kemandekan ekonomi, perubahan lingkungan, wabah penyakit, kemerosotan ras Romawi, serta pasang surut yang sudah menjadi suratan takdir semua peradaban. Ketika Kekaisaran Romawi Barat tumbang, banyak di antara kaum pemeluk agama asli mengambinghitamkan agama Kristen dan kemerosotan agama warisan leluhur bangsa Romawi sebagai biang keladinya; sejumlah pemikir rasionalis pada Zaman Modern menyalahkan perubahan dari agama kepahlawanan ke agama anti kekerasan yang menyusutkan jumlah prajurit sebagai biang keladinya; sementara tokoh-tokoh Kristen, semisal Agustinus dari Hipo, berpendapat bahwa lantaran berkubang dalam dosa-dosa, maka bangsa Romawi sendiri yang patut disalahkan.[152]

Kekaisaran Romawi Timur lain lagi nasibnya. Kekaisaran ini bertahan selama hampir 1000 tahun setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, dan menjadi negara Kristen yang paling stabil sepanjang Abad Pertengahan. Pada abad ke-6, Kaisar Yustinianus I berhasi merebut kembali semenanjung Italia dari orang Ostrogoth, Afrika Utara dari orang Vandal, dan kawasan selatan Hispania dari orang Visigoth. Kendati demikian, beberapa tahun sepeninggal Yustinianus, wilayah kekuasaan Romawi Timur di Italia dipersempit oleh orang Lombardi yang masuk dan bermukim di jazirah itu.[153] Kekaisaran Romawi Timur tetap memegang kekuasaan atas porsi yang cukup signifikan di semenanjung Italia, termasuk kota Roma sendiri di bawah Eksarkat Ravenna, sampai 751 M. Di Timur, dampak wabah Yustinianus dan Perang Romawi–Persia (602–628 M) melemahkan posisi kekaisaran yang membuka gerbang bagi kedatangan Islam. Para pemeluk agama baru tersebut bergerak cepat menaklukkan Syam, Armenia, dan Mesir semasa berlangsungnya perang-perang Arab-Romawi Timur, dan tak lama kemudian mengincar Konstantinopel sendiri.[154][155] Pada abad berikutnya, bangsa Arab juga berhasil menguasai kawasan selatan Italia dan pulau Sisilia.[156] Di sebelah barat wilayah Kekaisaran Romawi Timur, suku-suku Slav juga berhasil menerobos masuk sampai jauh ke Jazirah Balkan.

Meskipun demikian, Kekaisaran Romawi Timur mampu membendung gerak ekspansi Islam ke wilayahnya pada abad ke-8. Bahkan semenjak abad ke-9, Kekaisaran Romawi Timur sanggup pula merebut kembali daerah-daerah yang sudah ditaklukkan bala tentara Islam.[154][157] Pada tahun 1000 M, Kekaisaran Romawi Timur sedang jaya-jayanya. Kaisar Basilius II menaklukkan Bulgaria dan Armenia, kebudayaan dan perniagaan pun berkembang.[158] Namun laju ekspansi mendadak terhenti pada tahun 1071, setelah Romawi Timur terkecundang dalam Pertempuran Manzikert. Kekalahan ini menggiring Kekaisaran Romawi Timur memasuki kurun waktu kemerosotan. Setelah dua dasawarsa dirongrong kemelut di dalam negeri dan invasi orang Turk, Kaisar Alexius I akhirnya meminta pertolongan kerajaan-kerajaan Eropa Barat pada tahun 1095.[154] Eropa Barat menanggapi permintaannya dengan memaklumkan Perang Salib, yang justru berujung pada peristiwa Penjarahan Konstantinopolis oleh laskar-laskar Perang Salib IV. Jatuhnya Konstantinopolis ke tangan laskar-laskar Perang Salib pada tahun 1204 mengakibatkan Kekaisaran Romawi Timur terpecah belah menjadi banyak negara kecil; yang paling kuat di antaranya adalah Kekaisaran Nicaea.[159] Sesudah bala tentara kekaisaran berhasil merebut kembali Konstantinopolis, keadaan Kekaisaran Romawi Timur hanya sedikit lebih bagus dari sekadar sebuah negara Yunani yang terpojok di pesisir Laut Aigea. Kekaisaran Romawi Timur akhirnya runtuh sesudah kota Konstantinopolis ditaklukkan oleh Mehmed Sang Penakluk pada tanggal 29 Mei 1453.[160]

Roma adalah kota terbesar di Kekaisaran Romawi, dengan populasi kira-kira 450.000 sampai hampir satu juta jiwa.[161][162][163] Ruang-ruang publik di kota Roma dibisingkan derap kuda dan gelingsir roda-roda kereta yang terbuat dari besi sampai-sampai Gaius Iulius Caesar pernah mengusulkan agar kereta dilarang berlalu-lalang pada siang hari. Perkiraan sejarah menunjukkan bahwa sekitar 20% dari populasi yang tunduk di bawah daulat Romawi Kuno (25–40%, tergantung tolok ukurnya, di Jazirah Italia)[164] berdiam di kota-kota yang tak terbilang jumlahnya, dengan populasi 10.000 jiwa ke atas, dan di sejumlah permukiman militer; tingkat urbanisasi yang sangat tinggi menurut tolok ukur praindustri. Sebagian besar dari kota-kota ini memiliki forum (alun-alun), kuil-kuil, dan bangunan-bangunan lain seperti yang terdapat di kota Roma. Angka harapan hidup kira-kira 28 tahun.[165]

Cikal bakal asas-asas dan praktik-praktik hukum Romawi Kuno adalah Undang-Undang Dua Belas Loh yang diundangkan pada tahun 449 SM, dan hukum-hukum bangsa Romawi yang dikodifikasikan atas titah Kaisar Iustinianus I sekitar tahun 530 M. Corpus Iuris Civilis (Khazanah Hukum Rakyat), hasil dari pengodifikasian hukum-hukum bangsa Romawi ini tetap diberlakukan pada zaman Kekaisaran Romawi Timur, dan menjadi dasar dari pengodifikasian serupa di kawasan barat daratan Eropa. Hukum Romawi, dalam arti luas, terus diberlakukan di hampir seluruh pelosok Eropa sampai akhir abad ke-17.

Himpunan hukum bangsa Romawi Kuno, sebagaimana termaktub dalam kitab undang-undang hukum Kaisar Iustinianus dan kitab undang-undang hukum Kaisar Theodosius, terdiri atas tiga kelompok utama, yakni Ius Civile, Ius Gentium, dan Ius Naturale. Ius Civile (adat rakyat) adalah serangkaian hukum yang wajib ditaati warga negara Romawi.[166] Praetor Urbanus (penghulu warga kota) adalah pejabat negara yang berwenang mengadili perkara-perkara yang melibatkan warga negara. Ius Gentium (adat bangsa-bangsa) adalah serangkaian hukum yang berlaku bagi orang-orang asing dan urusan-urusannya dengan warga negara Romawi.[167] Praetor Peregrinus (penghulu warga asing) adalah pejabat negara yang berwenang mengadili perkara-perkara yang melibatkan warga negara dan warga asing. Ius Naturale (adat kodrati) adalah serangkaian hukum yang dianggap berlaku bagi seluruh umat manusia.

Gaius Iulius Caesar dan Triumviratus I

Pada pertengahan abad pertama SM, perpolitikan Romawi Kuno dilanda kemelut. Gelangang politik di Roma menjadi ajang pertarungan dua kubu, yakni kubu Populares yang hendak mencari dukungan rakyat, dan kubu Optimates yang hendak mempertahankan hak istimewa kaum ningrat sebagai penyelenggara negara. Lucius Cornelius Sulla menyingkirkan semua tokoh pimpinan kubu Populares, dan usaha perombakan undang-undang dasar yang dilakukannya menghilangkan semua kewenangan (misalnya kewenangan Tribunus Plebis, tribunus dari kaum Plebs) yang mendukung kubu Populares. Sementara itu, tekanan sosial dan ekonomi terus meningkat. Roma telah berubah menjadi sebuah metropolis yang dihuni kalangan ningrat kaya raya, para pemburu kekuasaan yang terlilit utang, dan sehimpunan besar kaum buruh yang sering kali terdiri atas petani-petani miskin. Kelompok-kelompok masyarakat kalangan buruh mendukung rencana makar Senator Lucius Sergius Catilina. Rencana makar gagal terlaksana lantaran Consul Marcus Tullius Cicero buru-buru menangkap dan menghukum mati para pemimpin gerakan makar.

Di tengah segala ingar-bingar ini muncul Gaius Iulius Caesar, tokoh dari kalangan ningrat yang tidak bergelimang harta. Bibinya yang bernama Iulia adalah istri Gaius Marius,[49] sementara ia sendiri menunjukkan keberpihakan pada kubu Populares. Demi mendapatkan kekuasaan, Gaius Iulius Caesar mendamaikan dua tokoh terkuat di Roma yang saling berseteru, yakni Marcus Licinius Crassus, yang sudah banyak berjasa memberi bantuan dana kepadanya saat baru merintis karier, dan Gnaeus Pompeius, yang ia ambil jadi menantu. Bersama kedua orang kuat Roma ini, ia membentuk sebuah persekutuan tidak resmi yang disebut Triumviratus (ketriwiraan). Rancangan ini memuaskan semua pihak. Marcus Licinius Crassus, hartawan terkaya di Roma, menjadi semakin kaya dan akhirnya berhasil menduduki jabatan senapati tinggi, Gnaeus Pompeius kian leluasa mempengaruhi senatus, sementara Gaius Iulius Caesar sendiri mendapatkan jabatan consul dan jabatan senapati di Galia.[50] Selama masih seiya sekata, ketiga tokoh ini adalah penguasa-penguasa de facto Republik Romawi.

Pada tahun 54 SM, putri Gaius Iulius Caesar, istri Gnaeus Pompeius, wafat saat bersalin, sehingga terputuslah satu mata rantai pengikat persekutuan triwira. Pada tahun 53 SM, Marcus Licinius Crassus menginvasi Partia dan gugur dalam Pertempuran Haran. Triumviratus pun tercerai berai dengan wafatnya Marcus Licinius Crassus, yang sebelumnya menjadi penengah antara Gaius Iulius Caesar dan Gnaeus Pompeius Magnus. Tanpa kehadirannya, kedua senapati ini pun mulai saling sikut berebut kekuasaan. Gaius Iulius Caesar menaklukkan Galia, menghimpun harta berlimpah, dihormati di Roma, dan dijunjung tinggi oleh legiun-legiun yang sudah kenyang asam garam pertempuran. Ia pun kian dipandang sebagai lawan berat oleh Gnaeus Pompeius, dan dibenci banyak tokoh kubu Optimates. Karena yakin bahwa Gaius Iulius Caesar dapat dijegal dengan cara-cara yang sah, para kaki tangan Gnaeus Pompeius bersiasat memisahkan Gaius Iulius Caesar dari legiun-legiunnya sebagai langkah awal dari usaha menyeretnya ke hadapan mahkamah, memiskinkannya, dan menjatuhkan hukuman buang padanya.

Untuk melawan nasib buruk yang sudah menunggunya, Gaius Iulius Caesar memimpin pasukannya menyeberangi Sungai Rubico dan menginvasi Roma pada tahun 49 SM. Gnaeus Pompeius dan para kaki tangannya kabur meninggalkan Jazirah Italia, diburu Gaius Iulius Caesar. Pertempuran Farsalos adalah kemenangan yang gilang gemilang bagi Gaius Iulius Caesar. Dalam pertempuran ini dan dalam aksi-aksi militer lainnya, ia menyingkirkan seluruh tokoh pimpinan kubu Optimates, yakni Metellus Scipio, Cato Muda, dan putra Gnaeus Pompeius yang juga bernama Gnaeus Pompeius. Gnaeus Pompeius senior tewas terbunuh di Mesir pada tahun 48 SM. Dengan demikian, tinggal Gaius Iulius Caesar seorang diri menjadi orang kuat Roma sekaligus sasaran kebencian banyak tokoh ningrat. Ia diserahi banyak jabatan dan dianugerahi banyak penghargaan. Hanya dalam lima tahun, ia sudah menduduki jabatan consul sebanyak empat kali, jabatan diktator biasa sebanyak dua kali, dan jabatan diktator istimewa sebanyak dua kali, yang pertama untuk masa jabatan sepuluh tahun, sedangkan yang kedua untuk seumur hidup. Ia tewas dibunuh komplotan Liberator pada hari Idus Martiae (hari Purnama bulan Maret) tahun 44 SM.[51]

Anda mungkin ingin melihat